Nek Kinoh Ngan Kijok Amas
Sinopsis
Tersebutlah sebuah kampung bernama Pakúnam. Dahulu Kampung Pakúnam, merupakan satu di antara beberapa nama kampung yang ada di daerah Sakawokng yang kini disebut Singkawang, Di kampung itu, hidup seorang nenek bernama Nêk Kinoh. la adalah seorang janda yang hidup sebatang kara. Suami dan anak-anaknya telah lama meninggal dunia, karena terserang wabah penyakit berbahaya yang menimpa kampung itu beberapa tahun silam. Nék Kinoh begitulah biasa orang-orang kampung menyebutnya, ia adalah seorang nenek yang memiliki rambut yang sangat panjang dan berwarna putih, Rambutnya yang sangat panjang tersebut membuat ia dikenal di seluruh kampung, Ñêk Kinoh memang sudah tua, tetapi ia tetap rajin merawat rambutnya yang panjang tersebut. Menurutnya, rambut adalah mahkota berharga yang harus dijaga dan dipelihara. Jadi, pada hari-hari tertentu, Nék Kinoh pergi ke hutan untuk mencari langir buah kayu manyaitnl yang akan dijadikan sebagai ramuan untuk mencuci rambut (baángir) miliknya.
Judul Cerita | Nek Kinoh Ngan Kijok Amas |
Penulis | - |
Ilustrator | - |
Penerbit | - |
Tahun Terbit | - |
Bahasa | - |
Umur Pembaca | - |
Nek Kinoh Ngan Kijok Amas
Tersebutlah sebuah kampung bernama Pakúnam. Dahulu Kampung Pakúnam, merupakan satu di antara beberapa nama kampung yang ada di daerah Sakawokng yang kini disebut Singkawang, Di kampung itu, hidup seorang nenek bernama Nêk Kinoh. la adalah seorang janda yang hidup sebatang kara. Suami dan anak-anaknya telah lama meninggal dunia, karena terserang wabah penyakit berbahaya yang menimpa kampung itu beberapa tahun silam. Nék Kinoh begitulah biasa orang-orang kampung menyebutnya, ia adalah seorang nenek yang memiliki rambut yang sangat panjang dan berwarna putih, Rambutnya yang sangat panjang tersebut membuat ia dikenal di seluruh kampung, Ñêk Kinoh memang sudah tua, tetapi ia tetap rajin merawat rambutnya yang panjang tersebut. Menurutnya, rambut adalah mahkota berharga yang harus dijaga dan dipelihara. Jadi, pada hari-hari tertentu, Nék Kinoh pergi ke hutan untuk mencari langir buah kayu manyaitnl yang akan dijadikan sebagai ramuan untuk mencuci rambut (baángir) miliknya. Nêk Kinoh tergolong wanita yang tegar, rajin, dan selalu bersemangat, Setiap pagi, Ñêk Kinoh harus berangkat ke ladang untuk merawat dan mengawasi padi-padinya yang sedang memasuki tahap babuntikng bini (hamil perempuan), padi milik Nêk Kinoh sudah mulai berbuah. Namun, belum tampak karena masih berada di (Sejenis tanaman hulan yang digunakan untuk belaneir atau mencuci rambut kepala pada Wanita Dayak Salako Garantukng) dalam batangnya, yang ditandai dengan batang padi yang mulai tampak membesar. Dengan hati yang sabar, ia berdoa kepada Jubato2 agar padi miliknya tetap subur dan bebas dari hama pengganggu seperti tikus, ulat daun, walang sangit, dan burung pipita Nêk Kinoh juga meminta kepada arwah para leluhur supaya menjaga ladangnya tersebut dari hantu-hantu yang kelaparan Nêk Klnoh percaya arwah Ieluhur selalu ada di sekitarnya, walau tidak kelihatan secara nyata. Selain menanam padi, Nék Kinoh juga membuat anyaman tikar yang dikerjakan ketika ada waktu luang. Saat-saat santai, setelah selesai mengerjakan ladang miliknya, ia gunakan untuk mengayam tikar - pandan. Anyaman tikar yang dibuat berasal dari daun sakék3 yang ia cari di hutan. Anyaman tikar yang dibuat berbentuk persegi panjang, berukuran panjang 3 meter dan lebar 2 meter. Tikar tersebut tersusun dari pita-pita daun sakék. Daun-daun tersebut diraut dan dibuang durinya, lalu dibelah berdasarkan ukurannya masing-masing dengan menggunakan jangkók sakék4, kemudian dijemur di bawah panas terik matahari hingga siap dibawa ke tahap berikutnya, yaitu pewarnaan. Nêk Kinoh memanfaatkan beberapa jenis tanaman hutan dan tanaman miliknya sebagai pewarna alami yang digunakan untuk mewarnai tikar pandan miliknya. Warna merah (meróh) dihasilkan dari potongan kayu sapókng (kayu Secang), warna kuning dihasilkan dari rimpang kunyit (unyit) yang di tumbuk halus (i-tutuk) dan dicampur dengan kapur sirih, sedangkan wama hitam (itópm) ia menggunakan arang kayu (arôk) yang ia campur dengan biji pinang (begék pinangk) dan kulit manggis (kuit mangis), sedangkan warna coklat dihasilkan dari kulit akar Jati (kuit akar jati). Bahan-bahan tersebut ia rebus, lalu dijemur (i-rongké) kembali dan dipadu-padankan sesuai tradisi nenek moyang, hingga terbentuklah selembar tikar dengan motif khas Dayak Salako yang indah dengan perpaduan warna merah, kuning, hitam dan coklat yang indah. Nantinya, tikar-tikar tersebut akan digunakan sebagai alas tidur, alas duduk di ruang tamu, ataupun alas untuk menyimpan barang-barang upacara ritual adat yang dilakukan oleh Nêk Kinoh bersama warga kampung (sa kampuk). Nêk Kinoh memang seorang nenek tua yang rajin, meskipun sudah disibukkan dengan beragam pekerjaan, tetapi ia juga masih harus mencari sayuran hutan. Nantinya, sayur-sayuran tersebut dijajakan kepada warga yang tinggal di ujung bantang5, Kala itu, kegiatan tukar-menukar barang masih dapat terlihat di kampung Nék Kinoh, Sayur miliknya, ditukar dengan (garopm) garam, jarúk, ba-acot, dan salé ikót. Nantinya barang-barang yang ditukar tersebut digunakan Nêk Kinoh untuk memenuhi kebutuhnnya sehari-hari. Pada saat terjadi proses tukar menukar memaksa dengan warga. Ada warga yang mau menukarkan barang mereka, tetapi juga ada yang tidak mau, terkadang, ada warga yang benar-benar membutuhkan Sayurannya, tetapi orang tersebut tidak memiliki barang untuk ditukarkan, maka tidak segan-segan ia memberikannya Secara cuma-cuma tanpa meminta balasan. Hal ini dilakukan karena Nêk Kinoh mempunyai prinsip hidup yang diajarkan oleh leluhurnya untuk bisa berbagi dengan orang-orang yang berkekurangan, Nêk Kinoh senang bisa membantu orang-orang yang berkesusahan, walaupun dirinya juga hidup dalam kesusahan. Kala itu, hari masih pagi, Nêk Kinoh bermaksud untuk pergi ke hutan mencari sayur. Kebetulan hari itu ia tidak berangkat ke ladang karena sehari sebelumnya, ladang miliknya sudah ia pasangi pagayo umo sehingga hari itu ia bebas untuk mencari sayur ke hutan. Sebelum berangkat, Nêk Kinoh mempersiapkan 'tangkitn ojot, pau-puk, amóuk, ca-akong, dan tabok. Setelah peralatan tersebut dipersiapkan, maka berangkatlah ia ke hutan Adapun hutan yang ia tuju saat itu, yakni Hutan Bukit Saboh yang tergolong angker di Bantang Pakunam, Hutan tersebut dipercaya oleh masyarakat bahwa ada sejumlah awo pamo (hantu/makhluk halus/roh leluhur) yang bersemayam yang sangat di takuti oleh warga sekitar tempat Nâk Kinoh tinggal. Warga menganggap Hutan Bukit Saboh merupakan tempat yang angker, tetapi bagi Nâk Kinoh tempat tersebut merupakan tempat yang indah dan damai layaknya Subayotn tempat Jubato bersemayam. Hal inilah yang membuat Nâk Kinoh merasa betah jika berada di tempat itu, meski orang-orang menganggap tempat tersebut sebagai tempat yang menyeramkan dan berbahaya untuk manusia (taino), Hutan Bukit Sabah, terletak di lereng gunung yang terjal, dengan kemiringan 70 derajat. Di tempat itu terdapat beragam binatang baik liar maupun langka seperti uar şowo (ular piton), book (burung hantu), kolang kulit (burung malam), kasui (harimau akar), ucik batu (kucing batu), tangiik (trenggiling), kijok (kijang), binau (elang), rangook (enggang), tangkarabak (tupai besar seukuran kucing), sapotn (tupai beşar berwarna warni), untek (sejenis kera) dan sebagainya. Binatang-binatang tersebut saling bercengkrama tanpa adanya rasa takut maupun ancaman berbahaya dari manusia pengganggu. Nek Kinoh memulai perjalanannya ke Hutan Bukit Saboh, Di tengah perjalanan terasa kakinya sangat kaku dan sulit untuk digerakkan, Lalu ia memutuskan untuk berhenti dan merebahkan tubuhnya yang keriput pada onggokan batu hitam yang berlumut hijau tempat la berhenti. la juga merasa sangat lelah (ka nga nguót) dan haus. (apun mengambil air yang ada di dalam tabek, dan meminum air tersebut. Entah kenapa, setelah minum air tersebut, ia merindukan anak-anaknya serta sang suami yang telah menghadap Jubato. Iapun berkata, "Ngameo kitók ningót akú? Anók gék kitók ale ka aku a? umak ale ka kitok, pok ko, pók oo, Rasoé akú anyian maók nyosolók kitók ka Subayotn nàun". (Mengapa kalian meningalkan aku? Tidakkah kalian merindukanku? Ibu sangat merindukan kalian, anakku, suamiku. Rasanya aku ingin menyusul kalian ke sana, ke surga). Tatkala rasa rindu berada dibenaknya, tiba-tiba seekor burung (burúkng) hinggap kira-kira 50 cm dari posisi Nék Kinoh berada. Iapun terkejut, lalu burung tersebut mengibas-ngibaskan ekorya, seakan-akan minta dijamah dan dielus-elus. Ñêk Kinoh heran, lalu mendekati dan menjamah burung itu. lapun berkata, "Donók, gagas sidi burukng nyian. Kapalo ngu’, bulu ngú, ekók ngú, seap ngú, poho ngú, samoe e gagas sidi. Kaú nyian burúkng gék awo pamo ato antu a? Ke améo kaú baík dari seketkú?, Mun kaú awo pamo ato gék antu dari jak dih, amé samakngík akú. Akú anyion taino, akú agik bagago makot ka doop udas nyian. Amé ngecóuh akú boàh." (Ya ampun, indah sekali burung ini, Kepalamu, bulumu, ekormu, sayapmu, kakimu, semuanya indah. Kamu ini apakah benar-benar burung, rob leluhur atau hantu? Kok, Mengapa kamu tidak mau pergi dari dekatku? Jikalau kamu, roh leluhur ataupun hantu, pergilah kamu dari sini tak usah dekati diriku. Aku sedang mencari makan di hutan ini. Tolong Jangan ganggu aku). Tiba-tiba burung itu menjawab Nek Kinoh, “O.. Nek tuho, aku nyian agik ka susohot. Maok gek kitok nu-ukngik aku?" (Wahai Nenek tua, aku sedang mengalami kesulitan. Sudikah kau membantuku?) Mendengar hal itu, Nek Kinoh kaget bukan kepalang (takajut). la heran dan hampir syok. Ia belum pernah melihat, seekor burung yang dapat berbicara seperti manusia. Sejenak la terkagum, serasa bermimpi menyaksikan seekor burung nan indah yang bisa berbicara layaknya manusia. Kemudian, "Nek Kinoh pun menjawab, "Donok, ke kau pane bakato dahayo taino? Kau anyian burukng gék antu? Nok suoh ku nanang burukng nang dahayo kau pane bakato. Sidi nok suoh, Baruk ari nyian oku nanang burukng pane ngalakar ba taino. Sagåk kau anyian antu ato gék awo pomo nang nyarubo ka burukng, Sidi anok, Mun kau antu, ngaméo payo kaü kasusohot a?" (Ya ampun, kok kamu bisa berbicara seperti manusia? Kamu ini burung atau hantu ? Tidak pernah, melihat burung sepertimu yang dapat berbicara, Aku benar-benar tidak pernah, baru sekarang aku melihat ada seekor burung Yang pandai bercakap-cakap dengan manusia. Sepertinya kamu ini hantu, ataupun roh nenek moyang yang menyerupai seekor burung, benar tidak ? Dan jikalau karnu hantu, mengapa kamu mengalami kesulitan?) Sahut burung itu, "Akü anyian taino Nék o, macamok kitok ugok. Aku i-Jubato ngutuk karano dulyo aku anyian bongkok ka binatang ngan taino. Aku pagéo, nyiksoik sigale nak laok. Jadi kaniok nange aku ngaraso iyo jadi burukng. Tuuk ngik aku Nék o. Aku maök jadiok taino agik," (Nek, aku ini manusia sama seperti nenek. Aku dikutuk oleh Jubato karena dulu aku seorang yang jahat selalu menyiksa binatang dan manusia. Jadi sekarang aku baru merapkanpya, berwujudkan seekor burung. Tolonglah aku, Nek. Aku ingin menjadi manusia lagi). Lalu jawab Nék Kinoh, "Alok ngu, antu ségnyo kau nian nang mok munuhok aku" (Bohong, mungkin kamu ini hantu yang hendak mencelakai saya) Burung itu menjawab, "Sidi Nék o„, Aku nyian taino. Aku i-Jubato ngutuk. (Benar Nek saya ini manusia. Saya dikutuk Jubato). Lalu jawab Nék Kinoh, “O.. Jako gék, auklah mun jako. Jéklah dirik puok ka bantang Nenék," (Oh ya kah, baiklah kalau begitu. Marilah kita ke rumah nenek). Nék Kinoh membawa burung tersebut pulang ke rumahnya. Meskipun sebenarnva kakinya telah pegal dan tidak sanggup lagi untuk berjalan, tetapi demi niat menolong sesama makhluk hidup, ia pun akhirnya berbaik arah menuju rumah untuk membawa burung tersebut. Setibanya di rumah, Nek Kinoh mengelus bulu burung tersebut sambil membersihkan bagian-bagian kaki burung yang kotor lalu meletakkan burung tersebut ke dalam sangkar (raban). Nek Kinoh berkata, “Aku nyimpan kau i-sio dohok bah kau ame ampus kamae- mae.” Sahut burung itu, “Auklah Nek oo, tapi kitok ampusok kamae dahok Nek? (Baiklah Nek, tapi nenek hendak pergi kemana?) Jawab Nek Kinoh, “Aku nganuok ampohot ka doop udas, ngaguok nak sigale amidik, pakuk, kuat, karekek, rabuk, dauk abuot, pokok e sigale dauknang bio i-juo ka dengan. Ingat boh kau ame jayo ka jauh.” (aku ingin mencari sayuran di hutan, seperti pakis, pucuk paku, cendawan, daun sirih, rebung, dauh simpur, dan semua jenis dedaunan yang bisa dijual kepada warga. Ingat kamu jangan pergi ke mana-mana.) “Auklah Nek o, baik-baik jak kitok kamarago boh. Ingat Nek o, ame kitok puok maam giok, i-naun tagahe awo pamo.” (Baiklah Nek, berhati-hati nenek di perjalanan. Ingat ya nek, jangan pulang terlalu malam karena di sana banyak terdapat roh halus). Berangkatlah Nek Kinoh ke hutan, meski ia agak khawatir meningalkan burung itu sendirian dirumahnya. Ia terus berjalan menuju hutan bukit saboh. Ia berharap untuk segera mendapatkan sayuran dimaksud setelah itu untuk dapat segera ke sana. Setibanya di hutan Bukit Saboh, ia pun mulai memetik pucuk-pucuk pakis, pucuk daun simpur yang dapat dia jual dengan warga. Dia terus memetik pucuk-pucuk pakis di sekitar Hutan Bukit Saboh Itu dengan riang gembira. Ucapnya dalam hati, "Epo sidi mun tiap ari jayo, ngatesík ogo-ogo pakúk ngan amidik. Pasti dangan maók mali iy””. (Senang sekali Jika tiap hari seperti ini, memetik pucuk-pucuk tanaman paku dan pakis- Tentulah warga mau membelinya) Dia terus memetik pucuk-pucuk sayuran hutan dan terus berjalan menyusuri hutan hingga tak sadar, bahwa ia telah jauh masuk tengah hutan. Lalu ucapnya, "Donók, Kamaé nong akú nyian? Déh, Kamaé akú nyian? Ambatok, yamaé nang akú puokók nyian, ha?” (Ya ampun, Di mana aku sekarang? Waduh, Aku berada di mana? Ya ampun, bagaimana aku bisa pulang ke rumah?) Nêk Kinoh telah tersesat ke tengah hutan. la mencoba mencari cara atau sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk untuk pulang ke rumah. Nék Kinoh me lihat-lihat hutan di sekelilingnya Lalu, la melihat ada sebuah gua kecil, dan mendekati gua tersebut, la mencoba untuk masuk, tetapi gua itu cukup dalam dan gelap ia takut, jika di dalam gua tersebut terdapat binatang yang berbahaya seperti ular teduog (uao tadúk), kalajengking (kalo Jangkék), dan lipan (nyaipot) yang bisa membahayakan dirinya. Selain itu, penglihatan Nêk Kipoh juga súdah tidak normal, sehingga ia pun memutuskan untuk beristirahat di bibir gua itu. Sejenak ia berpikir untuk mencari cara agar bisa pulang ke rumah. Namun, saat itu cuaca mulai tidak bersahabat. Angin kencang bertiup di sekitar gua itu. Pohon-pohon bergoyang, dedaunan melambai-lambai sambil menari, dahan-dahan tua berjatuhan (sempouk), binatang-binatang hutan mulai bersuara seakan menertawakan Nek Kinoh yang sedang kebingungan (ringanoh-ringangoh). Hari semakin gelap, matahari sudah pergi ke peraduan, udara dingin perlahan mendekati Nek Kinoh yang sedang bersusah hati. Di dalam ketakutan, Nek Kinoh berseru kepada Jubato, “Adanek o Jubato aku anyian taino aku anyian sasat, ameklah aku sadikit peridupot. Aku bangagok makot, bagagok rajaki ka kitok, bapintok kasalamatot ka kitok, Ooo, Jubato nang ando ka tanah, ka aik, ka udas, ka angit, ka bukit, ka nak sigale nagari, antat puok aku ka bantangku. Ame amek aku nak sagale panyakit nang biso nabanan aku ka dunio sontok sarantok. O Jubato dengar sampok ku nyian.” (Ya ampun, wahai Jubato, aku ini manusia. Aku tersesat, berilah aku jalam agar bisa kembali ke rumah. Berikan aku kesempatan hidup . aku bekerja untuk mencari makan, kepada-mu wahai Jubato yang menguasai tanah, air, hutan , bukit, ke seluruh negeri, antarilah saya pulang ke rumah. Jangan bekali aku dengan sakit penyakit yang bisa membawa aku pada kemiskinan dan kemelaratan. Wahai Jubato, dengarlah permohonanku ini.) Saat Ñék Kinoh ketakutan, burung yang ada di rumah menunggu ke pulangan Ñêk Kinoh. Burung itu tidak tenang, terbang kesana-kemari di dalam sangkar sehingga membuat sangkar burung itu terjatuh, dan pintu sangkarnya pun terbuka. Burung itupun lepas. Namun, burung tidak lari. la terbang (tarabók) mengitari bantang Nék Kinoh. Ucap burung itu sambil memanggil-manggil sang nenek "Ooo..Nêk, Kamoé kitàk nek? Ari dah gumarék, ngaméo ke kitôk napék puôk-puôk? Amo sidi boh kitok Nêk. Kamaé aúk nenék ampus?" Ooo... Nenek ada di mana? Hari sudah sore nek, kok mengapa nenek belum pulang juga? Nenek lama sekali, Kemana ya nenek?) Burung itupun terbang keluar dari bantang Nêk Kínoh. la melihat-lihat di sekitar bantang, tetapi tidak ada tanda-tanda Nêk Kinoh akan segera pulang. Kemudian, ia pun terbang agak jauh dari bantang tersebut dan mulai menyusuri gelapnya malam, tetapi Nêk Kinoh tetap tidak ditemukan. Akhirnya, ia pun terbang ke tengah hutan, menuju tempat Nêk Kinoh mencari sayuran yakni, di hutan Bukit Saboh, la mulai memasuki hutan, melihat-lihat situasi yang ada di sana, Meskipun penglihatannya sudah mulai terhalang oleh gelapnya malam, namun itu bukan masalah, Baginya menolong Nêk Kinoh sangatlah penting, Kemudian ia mencoba untuk bertanya dengan burung-burung yang ada di sekitar hutan, tetapi tak ia jumpai satu pun burung-burung di situ, Burung-burung sudah tertidur pulas dan tak satu pun yang keluar dari sarangnya, Lalu ia terbang Iagi ke tempat yang lebih dalam, Di sana, ia mendengar suara burung hantu sedang bernyanyi ria bersama anak-anaknya. la pun bertanya pada burung hantu tersebut. Burung hantu mengatakan bahwa si nenek berada di arah utara tempat ini. Lalu bergegaslah burung itu menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh burung hantu. Udara semakin terasa dingin karena embun malam telah turun. Angin malam Juga bertiup kencang menambah seramnya suasana di tempat itu. Suara burung hantu bersahut-sahutan, ditambah Iagi suara lolongan anjing hutan yang membuat bulu kuduk berdiri. Suasana malam itu sungguh menyeramkan, suara tokek juga bersahutan di atas pohon-pohon tengkawang yang besar seakan-akan berpesta ria menyambut kedatangan Sang Dewi Malam. Walaupun suasana di tempat itu terasa seram dan berbahaya, tetapi burung itu terus saja mengepakkan kedua sayap indahnya untuk mencari Nék Kinoh. Burung itu terus menyusuri gelapnya malam tanpa mengindahkan ancaman berbahaya dari reruntuhan dahan pepohonan yang rapuh tertiup angin malam. Dari kejauhan, terdengar suara burung memanggil Nêk Kinoh, "Kamoé kitàk Nêk? Nêk, o Nêk, kamaé kitôk ampus o..” (Nenek, kemana ya? Nek, oh nenek, kemana pergi nenek?) Burung itu terus memanggil-manggil Nék Kinoh, hingga beberapa binatang malam terbangun dari tidurnya saat mendengar suara yang mengusik telinganya di tengah dinginnya udara malam. Di tempat lain, Nêk Kinoh menggigil kedinginan, Suhu tubuhnya mulai turun dinginnya malam Nêk Kinoh sudah tidak mampu bertahan dengan cuaca dingin yang tidak bersahabat. Ia merasa dirinya hampir mati saja karena sebagian pembuluh darahnya sudah tidak berfungsi. Ucapnya dalam dinginnya malam "Donók, dingin Sidi utôt nylan. Pane-pane aku botok i-sio. O... Jubato, bantúklah gagontok Sidi tubuhkú anyian.” (Ya ampun, dingin sekali tempat ini bisa-bisa saya mati di sini. Oh Jubato, bantulah saya. Tubuhku ini sudah teramat dingin.) Nêk Kinoh berusaha memohon perlindungan kepada Jubato sambil menutupi tubuhnya dengan kain penutup kepala (ca-àkong) agar dapat terhindar Tubuh rentanya yang keriput pembuluh darahnya pun secara Perlahan mulai berhenti perlahan, Nêk Kinoh pun pingsan karena dinginnya malam. Di semak-semak belukar tak jauh dari tempat Nek Kinoh pingsan, muncul seekor kekuningan. Tubuh kijang itu indah dan menyilaukan mata bagi Terangnya cahaya, membuat bibir gua tempat Nek Kinoh pingsan menjadi terang-benderang. Cahanya tubuh kijang itu, membuat Nêk Kinoh hangat kembali. Kijang itu meniupkan nafas ke hidung Nêk Kinoh. Perlahan-lahan, jantung wanita, tua itu kembali berdetak, pembuluh darahnya juga kembali berfungsi. siuman, Saat membuka mata seekor binatang bertanduk indah Kinoh terkejut, ia heran dengan hadapannya, 'tampak scekor kijang menyilaukan mata. Cahaya itu laksana cairan emas dua puluh empat karat yang melebur oleh panasnya api sehingga mengeluarkan cahaya kekuningan. Lalu ucap Nêk Kinoh dengan polosnya pada Kijang itu, "Adanók, Jubato. Ambatók, anyian kówokan Kijok Amas nang dangan nyaritoòt kówo. Améo tang ando i-sio? O, Kijòk Amas, kitòk gék nang nolong akú? Kijòk amas, akú anyian sasat. Akú anók nahuík marago puókkok, bukék akú singajo taamók i-sio boh. Améo agik munuhiók binatang i-sio. Akú i-sio bagagók ampohot, bukék maksut atikú ngarumayaiyók utôtn i-sio ba nàk sigale laok i-sio." (Ya ampun, Jubato. Itukan Kijang Emas yang orang- orang ceritakan. Kenapa kok ada di sini? Wahai Kijang Emas, engkaukah yang telah menolongku? Kijang Emas, aku ini tersesat. Aku tidak tahu jalan untuk pulang ke rumah, dan bukannya saya sengaja masuk ke tempat ini apalagi untuk membunuh binatang-binatang yang ada di sini. Saya hanya mencari sayuran di sini, dan tidak bermaksud untuk merusak hutan serta segala jenis binatang yang ada di sini.) Tiba-tiba Kijang Emas itu menjawab Nék Kinoh, "Ó.. Nêk tuho, ngaméo payo kitòk dah maàm masih nyarohík útôt anyian? Útôt anyian barampúk Nêk ó, manyak awo pàmo i-sio nang biso nyasatòt kitők." (Wahai nenek tua, kenapa nenek sudah malam begini masih menyusuri hutan ini? Hutan ini angker Nek, ada banyak makhluk halus di sini yang bisa menyesatkan nenek.) Nêk Kinoh keheranan, lalu bertanya, "Deh, améo kitók pané bakato ha? Kitôk anyian améo boh sabanare?" (Waduh, Kok kamu bisa berbicara? Kamu ini sebenarnya siapa?) Lalu jawab kijang itu, “Aku anyian taino, tapi i-Jubato angit ngutuk, Nek Oo” “(Aku ini manusia, Nek Namun terkena kutukan Jubato langit.) Mendengar hal itu Nék Kinoh teringat dengan nasib yang dialami Oleh burung Yang ia temukan saat akan berangkat ke hutan Bukit Saboh. Cerita Yang dialami Oleh Kijang Emas dengan Burung itu memiliki kemiripan. Kemudian Nék Kinoh menceritakan peristiwa yang telah ia alami kepada Kijang Emas itu, termasuk saat menemukan seekor Burung ketika hendak berangkat. Lalu kijang itu pun berkata "Kamaé burük köwo, Nék?" (Dimana burung itu, Nek?) Jawab Nék Kinoh, Oo ado ka bantangku. Aku nabanan iyo puok." (Oh„ Dia ada di rumahku. Aku membawanya pulang) Lama mereka bercerita dibibir gua itu, Nék Kinoh yang tadinya lemas dan tak bisa bergerak tiba-tiba pulih kembali. Sendi-sendi kakinya dapat bergerak kembali, Nék Kinoh merasa lebih enteng saat bergerak. Setelah dirasa telah segar kembali, lalu Nék Kinoh mengajak Kijang itu untuk pulang bersamanya ke bantang. Nék Kinoh berjalan di depan sambil diikuti Oleh Kijang Emas. Ketika melangkah pada jarak beberapa meter, tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar yang dapat memecahkap gendang telinga. "Duar„.." bunyi suara gemuruh disertai tanah runtuh dan batu-batu Yang jatuh bergelimpangan, Tempat yang baru saja mereka tinggalkan, tiba-tiba longsor. "Donók, améo kówo nang babunyi? adanók, tonoh rontok" ucap Nek Kinoh. (Ya ampun, apa itu yang bersuara? Ya ampun, ada tanah longsor.) Sahut Kijang Emas, "Auk Nêk óo. Jék nang dirík ganceh-ganceh dari, tingoót tampat anyian," (Benar Nek. Ayo Nek kita bergegas lari dari sini, tinggalkan tempat ini) Tiba-tiba tanah yang mereka pijak pun mulai bergerak. Pohon-pohon tumbang dan berpatahan. Buah kelapa jatuh bergelimpangan, batu-batu besar mengelinding, bergerak dari puncak gunung (oncòk bukit) melewati jurang menuju lembah datar. Tiba-tiba keluar seekor ular besar (nabo) berwarna kuning dari dalam tanah. Ular besar (nobo) itulah yang menggoyang- goyangkan seluruh tanah di sekitar hutan itu. Melihat hal itu, Nék Kinoh sangat ketakutan. Namun, Kijang itu tetap berusaha untuk melindungi dan menemani Nek Kinoh agar tidak dimangsa oleh ular tersebut. Ucap Kijang Emas, "Nêk, kitok ta-apík ekókkú, boh. Dirík mók batalàmók-ók gancang-gancang." (Nek, Nenek pegang ekor saya ya. Kita akan berlari kencang.) Dengan sekuat tenaga, Kijang Emas itu berusaha membawa Nêk Kinoh keluar dari hutan itu. Kijang Emas tidak mau jika Nek Kinoh menjadi mangsa berikutnya, setelah 100 tahun masa bertapa ular itu selesai. Maklumlah, setelah 100 tahun bertapa dan berpuasa, ular besar tersebut kelaparan. la mencari mangsa untuk mengisi perutnya yang kosong. Nek Kinoh dan Kijang Emas terus berlari, tetapi tiba- tiba dari gelapnya malam muncul seekor burung. Burung tersebut memancarkan cahaya merah, yang menyambar kepala ular besar tersebut. Ular besar (nabo) itu tampak menggeliat kesakitan. Kedua bola matanya yang merah disembur nyala api yang keluar dari mulut burung itu. Ketika ular itu lengah, secepat kilat burung itu langsug mematuk kepala ular hingga remuk. Burung tu mencengkram tubuh ular tersebut dengan kedua cakarnya, dan membuang ular tersebut ke jurang yang dalam. Lalu, burung itu terbang ke puncak gunung dan menggelindingkan sebongkah batu besar berbentuk persegi. Batu tersebut menggelinding ke arah ular besar yang jahat dan menimpa tubuh ular tersebut hingga menyatu dengan bumi. Setelah keadaan terasa aman, burung itu pun menyambangi Nêk Kinoh dan Kijang Emas. Tatkala burung itu mendekat, Nek Kinoh terkejut saat melihat burung tersebut. Ternyata burung itu adalah burung yang ia jumpai saat hendak pergi ke hutan. Lalu ucap burung, "Ó Nêk. Kitòk anók meo-meokan?" (Oh, Nek. Nenek baik-baik sajakan?) Sahut Nêk Kinoh, "Auk, akú anók meo-meo. Sukurlah kau atók nuukngik kami. Mun kaú nók anceh atók nuukngik kami, pastilah kami dah i-nabo kowo makotnik. Kami dah barusoho dari. Kami bagelèh samaaman ka dóp utôtn nyian ngagók marago sák puókkók. Tapi boh nók namu. Basukur sidi ka Jubato, ka ando atók nang nuukngik kami i-sio.” (Saya baik-baik saja, bersyukurlah kamu datang menolong kami. Seandainya kamu tidak cepat datang membantu, tentulah kami telah dimangsa oleh ular besar Itu. Kami telah berusaha untuk lari. Semalaman kami berlarian di tengah hutan ini mencari jalan untuk pulang ke rumah. Puji syukur kepada Jubato, kamu bisa datang tepat waktu untuk menolong kami di sini.) Saat melihat Nêk Kinoh bersama Kijang Emas, burung Itu merasa heran. Namun, sebelum ia lebih lanjut menanyakan hal tersebut, Nek Kinoh langsung menjelaskan siapa sebenarnya Kijang Emas itu yang tidak lain adalah suami dari jelmaan burung itu. Lalu ucap Kijang Emas pada Burung itu, "Akú dah nangar samué-e dari Nêk Kinoh. ló dah matakik ka akú, kau ado ka bantang ngé. lo ugók dah manyák nyuritoôt koú ka akú. Rupaé kau anyian saamikotku. Sukurlah kau ganceh atók nuukik kami, jadi kamí anók i-uar kowo toôt, sampe akiré dirik biso batamu agík i-sio." (Saya telah mendengar semuanya dari Nêk Kinoh. Dia sudah memberitahuku bahwa kamu ada di rumahnya. Dia juga telah banyak bercerita tentang dirimu padaku, dan ternyata kau adalah istriku. Syukurlah kamu cepat datang sehingga kami tidak menjadi mangsa ular besar itu hingga akhirnya kita bisa bersua kembali di sini). Sungguh, malam itu menjadi malam istimewa bagi Kijang Emas dan Burung. Saat yang telah dinanti sejak ratusan tahun, terkabulkan atas kehendak Jubato Yang Berkuasa. Mereka berdua dipertemukan di tengah hutan bersama manusia tua bernama Nêk Kinoh. Malam pun berlalu begitu cepat, kemudian mereka pulang ke bantang Nék Kinoh. Di sana, mereka saling bercerita dan bersenda gurau bersama, walau wujud mereka berdua masih belum sempurna seperti manusia, masih berupa kijang dan burung. Walau begitu, mereka semua tetap tertawa dan bahagia. Malam itu pun tiba, tatkala malam ketiga belas menghampiri kedua makhluk Tuhan itu, sang rembulan di langit bercahaya terang benderang. Cahaya rembulan menebarkan pesonanya di atas pondok Nek Kinoh. Tiba- tiba terdengar suara entah dari mana asalnya, "Ó...... Kijók Amas ngan Burukng Rué, Kaniòk waktué kitòk puôk ka asal kitòk agík, baruboh sásuai ujúd kitòk samulo, jadi taino tapi kitok harus ampus ka subayotn karano kitok dah bamatiatník. I-maé kitok atok, i-kówolah kitòk puôk ka asal, i-maé kitok imajawat, i-kówolah kitòk puôk. Puôk, puôk, puôk nang ka Subayotn. Binuo anyian bukék tampat kitok agík." (Wahai Kijang Emas dan Burung Ruai, sekarang waktunya kalian kembali lagi ke khayangan. Berubahlah sesuai wujud kalian semula menjadi manusia tetapi kalian harus pergi ke surga karena kalian telah meninggal dunia. Di mana kalian datang, dari situlah kalian berasal, di mana kalian diciptakan dari situlah kalian akan kembali. Pulang, pulang, pulanglah ke surga. Tempat ini bukan tempat kalian lagi.) Suara itu mengajak Sang Kijang Emas dan Burung untuk kembali ke asal mereka, ke alam subayotn.Tubuh mereka pun seketika berubah menjadi manusia setengah Jubato. Tampak seorang laki-laki berwajah tampan dan bercahaya dengan pakaian yang indah, sedangkan makhluk yang lain berubah menjadi seorang wanita cantik berambut Indah dengan pakaian dan perhiasan di tubuh Indahnya. Hal yang aneh, mereka bisa terbang (tarabok) walau tidak memiliki sayap (seap). Sebelum keduanya pergi ke subayotn, laki-laki Itu berpesan pada Nêk Kinoh supaya menjaga binatang serta tumbuh-tumbuhan yang ada di hutan. Selain itu, taino (manusia) harus menjaga sikap dan tutur bahasa apabila masuk ke hutan tersebut. Apabila hutan tersebut dirusak akan datang bencana besar yang akan menimpa kampung Itu. Jika adab kesopanan dilanggar akan timbul wabah penyakit kutukan yang akan sirna pada keturunan ketujuh. Kemudian, laki-laki itu memberi sebongkah batu berwarna hitam pada Nêk Kinoh. Batu itu diberikan sebagai tanda persahabatan manusia (taino) dan kijang (kijók), serta sebagai bentuk ucapan terima kasih. Setelah beberapa saat, tiba-tiba batu tersebut berubah menjadi bongkahan emas. Melihat hal itu, Nék Kinoh terkejut. la pun bermaksud mengembalikannya karena menganggap pemberian tersebut sangat berlebihan dan ia menolong dengan ikhlas. Namun, keduanya tetap memohon agar Nêk Kinoh menerima pemberian tersebut sebagai tanda persahabatan yang abadi. Akhirnya, Kedua insan itu pun pergi menuju subayotn dengan perasaan bahagia. Keduanya takkan terpisah lagi, dan akan selalu bahagia walaupun mereka tidak lagi menjadi manusia seperti awal kehidupan mereka. Tak ada lagi kesedihan dan penderitaan di antara keduanya. Kedua telah abadi menjadi penghuni subayotn sedangkan Nek kinoh harus berjuang dengan waktu untuk menyelesaikan sisa hidupnya. Kini Nék Kinoh hidup sendiri lagi, di rumah sendiri, ke ladang pun sendiri. Semua aktivitas harus dikerjakan sendiri, tanpa ada tawa canda dari Burung dan Kijang Emas. Di sisa hidupnya, Nêk Kinoh tetap akan mengenang peristiwa yang telah dialami. Bongkahan emas milik Nék Kinoh tetap tersimpan hingga akhir hayatnya di hutan itu. Kini, bongkahan emas milik Nek Kinoh tidak diketahui keberadaannya. Menurut Informasi dari warga setempat, bongkahan emas itu telah berubah menjadi anak Kijang Emas. Kijang Emas tersebut menjadi barang buruan oleh orang-orang yang tamak, terutama pemburu harta karun. Anak Kijang Emas itu diperkirakan bersemayam di atas puncak Bukit Saboh, dan oleh masyarakat setempat menyebut kijang itu sebagai Kijók Jubato yang hanya bisa ditemukan oleh orang-orang yang tulus hatinya. SELESAI Pesan Moral Dari cerita yang berjudul Nek Kinoh Ngan Kijek Amas, dapat diambil pesan moral, yaitu: 1. manusia harus giat bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya 2. setiap pekerjaan yang dilakukan tidak lepas dari berbagai tantangan, dan oleh sebab itu kerjakanlah dengan hati.yang tulus 3. menolong sesama merupakan suatu kewajiban dan perbuatan mulia yang yang dapat dilakukan oleh setiap orang 4. pergunakanlah waktu dengan bijak karena waktu yang telah terbuang tidak akan kembali 5. setiap makhluk yang berasal dari Tuhan, suatu saat pasti akan dipanggil untuk kembali ke asalnya dan mempertanggungjawabkan setiap perbuatan yang telah dilakukan selama hidup di dunia 6. manusia harus bersyukur atas berkat dan anugerah yang telah diberikan oleh Tuhan 7. setiap jalan kehidupan manusia telah digariskan- Nya, oleh karena itu perbuatan baik akan menentukan masing-masing nasib seseorang 8. peliharalah lingkungan alam selama masih ada waktu untuk dapat menjaga dan memeliharanya 9. harta dunia bukanlah sesuatu yang abadi, oleh karena itu, carilah harta yang berasal dari Tuhan; dan 10. berilah penghormatan untuk orang-orang yang telah berjasa dalam hidup kita. Nilal Pendidikan Karakter Dari cerita yang berjudul Nek Kinoh Ngan Kijak Amas, nilai-nilai pendidikan karakter meliputi: nilal kasih sayang, rasa kasih sayang, rela berkorban, kejujuran, kepedulian, kerajinan, keingintahuan, terbuka, inisiatif, cermat, tepat waktu, tahu berterima kasih, keberanian, antisipatif, tabah, kesetiaan, kesediaan, kritis, perhatian, menghormati, disiplin, takwa, ketulusan hati, mandiri, pengambilan risiko, kecerdasan/panjang akal, reflektif, integritas, analitis, ulet, menghargai waktu, lugas, kukuh hati, pengabdian, empati, bertanggungjawab, peduli lingkungan, ketaatan, cinta damai, pemurah. Dari beberapa nilai pendidikan karakter di atas diharapkan dapat digunakan dalam upaya penanaman, pembinaan, dan pengembangan pendidikan karakter pada generasi muda, terutama bagi peserta didik di sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari di rumah dan lingkungan masyarakat. Nama Penulis: Hendrasius Asal Sekolah : SD Negeri 13 Singkawang Narasumber : Bapak Bahari bin Loson bin Nampo (Alm.)
Video belum tersedia!
Komentar
Masukan dan saran sangat membantu untuk perkembangan website dan cerita kami.
Tambahkan Komentar
Komentar : 0