Dua Amas Bersaudara
Sinopsis
Alkisah, di pedalaman daerah hilir sungai Kabupaten Kapuas Hulu, hiduplah sepasang suami istri bernama Ama' Si Buku Tabu dan Be' Karatan Sare. Mereka menempati sebuah pondok sederhana di dalam hutan Tamambaloh¹. Pondok mereka terletak agak jauh dari pemukiman penduduk yang umumnya mendiami perkampungan di sepanjang sungai Tamambaloh. Ama' si Buku Tabu bekerja sebagai petani. Sementara istrinya Be' Karatan Sare tinggal di rumah mengurus keperluan rumah.
Judul Cerita | Dua Amas Bersaudara |
Penulis | - |
Ilustrator | - |
Penerbit | - |
Tahun Terbit | - |
Bahasa | - |
Umur Pembaca | - |
Dua Amas Bersaudara
Alkisah, di pedalaman daerah hilir sungai Kabupaten Kapuas Hulu, hiduplah sepasang suami istri bernama Ama' Si Buku Tabu dan Be' Karatan Sare. Mereka menempati sebuah pondok sederhana di dalam hutan Tamambaloh¹. Pondok mereka terletak agak jauh dari pemukiman penduduk yang umumnya mendiami perkampungan di sepanjang sungai Tamambaloh. Ama' si Buku Tabu bekerja sebagai petani. Sementara istrinya Be' Karatan Sare tinggal di rumah mengurus keperluan rumah. Ama' si Buku Tabu merupakan pekerja yang ulet. Setiap hari Ama' si Buku Tabu harus bangun pagi-pagi, pergi ke sungai Tamambaloh untuk memesan bubu². Be' Karatan Sare pun demikian, ia harus bangun pagi-pagi menyiapkan makanan untuk keluarganya. Setelah makanan siap, barulah Ama' Si Buku Tabu berangkat ke sungai Tamambaloh mengadu keberuntungan untuk mendapatkan ikan-ikan segar dari sungai itu.Sungai Tamambaloh merupakan sungai yang sangat jernih airnya, bak cermin yang berkilau-kilau jika terkena pantulan sinar matahari. Ada banyak ikan-ikan segar yang mendiami sungai ini. Sungai Tamambaloh adalah salah satu sumber kehidupan bagi masyarakat Tamambaloh, termasuk keluarga Ama' Si Buku Tabu. Setelah memasang bubu Ama' Si Buku Tabu pun pergi ke ladang. Padi dan tanaman-tanaman yang lain tumbuh sangat subur di ladang Ama' Si Buku Tabu: Ketika matahari mulai condong ke Barat, Ama' Si Buku Tabu segera menghentikan aktivitasnya di ladang dan segera beranjak untuk melihat bubu yang telah dipasangnya pada pagi hari. Hasil tangkapan itu akan dibawa pulang oleh Ama' Si Buku Tabu untuk dijadikan santapan malam bagi la dan keluarganya. Bahkan terkadang jika hasil tangkapannya melimpah ruah, ia akan menjualnya terlebih dahulu ke pasar kampung tetangga yang jaraknya tidak terlalu jauh dari perkampungan. Hasil penjualan Ikan itu pun digunakan oleh Ama' Si Buku Tabu untuk membeli kebutuhan rumah. Ama' Si Buku Tabu dan Be' Karatan Sare mempunyai sepasang anak yang masih kecil bernama Sanggoan Amas dan Bunga Sio Amas. Sanggoan Amas adalah anak pertama mereka yang mulai beranjak remaja. la adalah anak laki-laki yang sangat lincah dan cerdas. Kulitnya putih bersih. Wajahnya yang mungil dan memancarkan paras yang sangat rupawan dengan alisnya yang tebal dan hidung yang mancung bagai dipahat. Walaupun masih kecil, tergaris diwajahnya kelak akan menjadi pemuda yang sangat tampan ketika ia sudah dewasa nanti. Ssi bungsu, Bunga Sio Amas tidak kalah elok parasnya. Walaupun masih kecil, telah terpancar wajah yang cantik rupawan dari si putri kecil ini. Kedua anak ini tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas. Ama' Si Buku Tabu dan Be' Karatan Sare sangat menyayangi kedua buah hatinya. Keluarga sederhana ini hidup dengan sangat bahagia. Namun, seiring waktu berjalan, keadaan keluarga ini mulai berubah. Kebahagiaan keluarga Ama' Si Buku Tabu terusik karena Be' Karatan Sare jatuh sakit sehingga tidak mampu lagi mengurus suami dan anak-anaknya. Be' Karatan Sare sangat bersedih, la merasa tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk keluarganya. Hingga suatu pagi, saat udara masih dingin menembus kalbu. Be' Karatan Sare dengan langkah tertatih, memaksakan diri bangun pagi-pagi untuk menyiapkan makanan sebelum suaminya dan kedua anaknya terbangun. Ketika ia berusaha membuka tutup tempayan yang berat, tangannya yang lemah tak kuasa menopang beratnya tutup tempayan itu sehingga suara tutup tempayan yang jatuh itu membangunkan suaminya, Ama' Si Buku Tabu. "Wahai istriku, ada apa gerangan pagi-pagi sekali engkau di sini? Lihat di luar sana masih gelap?" Ama' Si Buku Tabu menghampiri istrinya yang masih berdiri kaku karena ia tak menyangka tutup tempayan itu terlepas dari genggaman tangannya. Be' Karatan Sare hanya bisa mematung melihat tutup tempayan yang akhirnya berderai di hadapannya. "Maafkan aku, suamiku. Aku telah mengganggu tidurmu," ucap Be' Karatan Sare lirih. "Tidak apa-apa, tetapi apa yang engkau lakukan sepagi ini, istriku?" Tanya Ama' Si Buku Tabu. "Aku berusaha untuk menyiapkan makanan. Namun aku tidak sengaja memecahkan tutup tempayan itu. Maafkan aku suamiku. Aku tidak mampu lagi mengurus keperluanmu dan anak-anak kita. Hal kecil seperti ini aku sudah tidak bisa melakukannya lagi. Aku merasa tidak berguna di keluarga kita ini, suamiku?" Be' Karatan Sare tampak bersedih, matanya bekaca-kaca saat menatap suaminya. "Janganlah berpikir demikian, istriku. Jangan katakan kau tidak berguna. Sesungguhnya engkau adalah penyemangatku. Jangan sekali-kali lagi kau berpikir bahwa engkau tidak berguna. Mungkin saat ini keadaanmu tidak sehat seperti dulu. Ini adalah cobaan dari sampula. Tetap yakin istriku, engkau akan sembuh. Aku akan terus berusaha sampai engkau sembuh istriku," kata Ama' Si Buku Tabu menghibur istrinya.Dari balik pintu kamar, Sanggoan Amas tidak sengaja mendengar percakapan kedua orang tuanya. la sangat bersedih mendengar perkataan Ibunya. la pun bertekad untuk membantu meringankan beban kedua orang tuanya. Sehingga, setiap pagi Sanggoan Amas membantu ayahnya menyiapkan makanan. Setelah ayahnya berangkat ke ladang, ia membantu ibunya mengasuh adiknya, Bungsu Sio Amas yang masih sangat kecil. Hari berganti hari, waktu terus melaju tanpa henti. Musim-musim pun terus berganti. Roda waktu memang berputar begitu cepat. Namun, tidak demikian dengan keluarga Ama' Si Buku Tabu, waktu yang dijalani terasa begitu sangat lama. Pergantian waktu berjalan begitu lambat. Be' Karatan Sare hanya bisa terbaring lemah di tempat tidurnya yang beralaskan daun paripuk. la memperhatikan kedua anaknya dari celah-celah dinding bambu di kamarnya. Tampak Sanggoan Amas sedang menidurkan adiknya di ayunan sambil bersenandung di ruang tengah tepat di depan kamar Be' Karatan Sare. Hari itu suasana mendung menyelimuti bumi. Suara gemuruh guntur yang sahut menyahut memekikkan telinga. Tak berselang lama, hujan pun turun mengguyur bumi dengan sangat deras. Tangisan Bunga Sio Amas hilang tertelan suara guntur yang makin bergemuruh. Sementara itu Ama' Si Buku tabu sudah berangkat ke ladang semenjak subuh. Saat petang tiba, Sanggoan Amas menunggu ayahnya di pendopo rumah sambil menggendong bunga Sio Amas di punggungnya. Namun, yang ditunggu tidak kunjung datang. Perlahan senja temaram hilang berganti pekatnya malam. Sanggoan Amas mulai gelisah menunggu ayahnya. Wajahnya tampak gusar. Setelah la menidurkan adiknya di samping ibunya, la kembali duduk di pendopo rumah menanti kedatangan ayahnya. Tampak dari kejauhan samar-samar bayangan seseorang berjalan mendekat ke arah rumah. Sanggoan Amas memperhatikan lebih seksama dan setelah semakin dekat, Sanggoan Amas baru menyadari itu merupakan ayahnya, Ama' Si Buku Tabu. Segera Sanggoan Amas menghampiri ayahnya. "Ayahanda, apa gerangan yang terjadi? Kenapa Ayahanda pulang terlambat hari ini?" Tanya Sanggoan Amas. "Sanggoan Amas putaku, Ayah tidak apa-apa. Ayah tidak bisa pulang karena lama mencari bubu. Sepertinya sudah hanyut terbawa arus sungai. Air sungai sedang pasang karena hujan lebat hari ini. Kamu masuklah terlebih dahulu. Kamu harus tidur karena sudah larut malam," kata Ama' Si Buku Tabu kepada Sanggoan Amas. Tampak wajah Ama' Si Buku Tabu tidak bisa menutupi rasa cemas yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Keesokan harinya, Ama' Si Buku Tabu mendapati air sungai sudah meluap. la tidak bisa mencari ikan di sungai lagi. Air sungai sudah meluap, ladang Ama' Si Buku Tabu pun berubah menjadi sungai. Tidak ada satu tanaman pun yang tersisa. Semua lenyap terbawa arus air yang meluap. Ama' Si Buku Tabu sangat bersedih. Ama' Si Buku Tabu memandang ladangnya itu dari kejauhan di atas bukit. Matanya berkaca-kaca, ia mengusap mata beberapa kali berharap semua itu hanya mimpi. Tatapan matanya tampak sayu, dari balik raut wajahnya tergurat rasa gundah yang mendalam. Bagaimana ia harus menghidupi keluarganya kelak karena landangnya sudah porak poranda diterjang arus air yang deras. Terbayang wajah Istrinya yang sedang sakit dan wajah lugu anak-anaknya yang masih kecil. Sepanjang perjalanan pulang ia terus memikirkan mereka. la juga teringat akan persediaan makanan di rumah yang sudah makin menipis. Hari pun terus berganti, luapan sungai masih saja belum surut. Hujan terus mengguyur perkampungan. Sesungguhnya penduduk perkampungan ini sedang dihukum oleh Sampulo karena mereka lupa bersyukur kepada Sang Pencipta, Sampulo Padorí. Bahkan banyak penduduk yang sering menebang pohon-pohon dan mengotori sungai Tamambaloh. Tentu saja ini membuat Sampulo marah sehingga la mengirimkan hujan yang tak henti-hentinya kepada penduduk desa itu. Ama' Si Buku Tabu sangat cemas. la tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya lagi karena cuaca buruk yang terus melanda perkampungan. Ini membuat ladangnya gagal panen dan air sungai terus meluap sehingga ia tidak bisa lagi memasang bubu di sungai. Hingga akhirnya keluarga Ama' Si Buku Tabu yang dahulunya hidup bahagia kini menjadi keluarga yang jatuh miskin bahkan untuk makan saja keluarga ini sangat susah. Kemudian, Ama' Si Buku Tabu pun memutuskan untuk pergi berburu mengadu peruntungan untuk mendapatkan binatang-binatang yang dapat dijadikan makanan sebagai penyambung hidup keluarga. Namun, apa yang diharapkan oleh Ama’ Si Buku Tabu hanya tinggal harapan. Ia tak pernah beruntung mendapatkan hasil buruan. Akhirnya, Ama’ Si Buku Tabu pun menyerah. Ia hanya berhasil mengumpulkan sedikit sayuran dan buah-buahan dari hutan itu. Setibanya ia di rumah, la melihat istri dan kedua anaknya sedang tertidur menahan rasa lapar. Perlahan ia membangunkan istrinya. "Istriku, bangunlah, makanlah terlebih dahulu, aku membawa sedikit makanan. Cukuplah untuk mengganjal rasa lapar. Besok aku akan berusaha mencari binatang buruan untuk kita santap bersama," kata Ama' Si Buku Tabu. "Tidak, suamiku. Aku tidak merasa lapar sama sekali. Lihatlah, anak-anak kita. Mereka belum makan semenjak pagi tadi. Kasihan sekali mereka. Aku yakin mereka pasti sangat kelaparan. Biarlah mereka saja yang makan, suamiku," tolak Be' Karatan Sare. Ama' Si Buku Tabu menatap istrinya dalam-dalam. Hatinya begitu sedih melihat wajah istrinya yang pucat pasi dengan kedua matanya yang sayu. la tahu jika istrinya itu hanya berpura-pura tidak lapar demi kedua buah hati mereka. Namun, Ama' Si Buku Tabu tidak mau menyerah. la terus memaksa istrinya untuk makan agar bisa segera sembuh. Namun, istrinya pun terus bersikeras untuk memberikan makanan itu kepada kedua anaknya. Demikian juga di hari-hari berikutnya. Be' Karatan Sare selalu menolak makan telebih dahulu sebelum kedua anaknya makan. Jika ada sisa makanan yang tidak habis dimakan oleh anak-anaknya, barulah Be' Karatan Sare mau makan dan berbagi dengan Ama’ Si Buku Tabu. Suatu malam Ama’ Si Buku Tabu tidak bisa memenjamkan matanya. Ia sangat gelisah sehingga ia beranjak dari tempat tidurnya menuju pendopo rumah. Ia duduk dengan raut gusur di wajah sambil menatap pekatnya malam. Dinginnya angin malam menusuk-nusuk rongga dada Ama’ Si Buku Tabu. Pikirannya jauh berkelana. la tampak berpikir sangat keras. Apa yang harus dilakukannya untuk menyembuhkan Istrinya dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Keesokan paginya, Ama' SI Buku Tabu membangunkan Sanggoan Amas dan menyuruhnya untuk berkemas. "Anakku, Sanggoan Amas. Berkemas-kemaslah karena ayah akan mengajakmu berburu ke hutan hari ini," kata Ama' Si Buku Tabu. "Berburu, Ayah? Bagaimana dengan adikku, Bunga Sio Amas, siapa yang akan menjaganya di rumah? Ibu sedang sakit dan mungkin tidak bisa mengasuhnya," Tanya Sanggoan Amas. "Ayah sudah memikirkannya, anakku. Bunga Slo Amas akan ikut berburu bersama kita. Jadi, kamu harus mempersiapkan bekal dan pakaian secukupnya karena kita tidak tahu akan menginap atau tidak di hutan malam ini. Pergilah ke dapur sekarang, di dalam tempayan masih ada sedikit sisa beras. Masaklah sebagian untuk bekal kita di dalam hutan nanti dan sebagian lagi sisakan untuk ibumu," kata Ama' Si Buku Tabu. Mendengar hal itu, Sanggoan Amas tentu saja sangat senang karena ia sudah lama menantikan pergi berburu bersama ayahnya. Tidak masalah jika adiknya pun ikut bersama mereka. la juga tidak mau menyusahkan ibunya yang masih sakit untuk mengasuh adiknya. "Baiklah ayah. Saya akan segera menyiapkan bekal dan pakaian secukupnya." Sanggoan Amas pun segera menyiapkan segala keperluan mereka. la tampak senang sekali karena ini akan menjadi pengalaman pertamanya pergi berburu. Ama' Si Buku Tabu pun segera menghampiri istrinya, yang sedang duduk di ruang tamu bersama Bunga Sio Amas. "Wahal Istriku. Apakah kau sudah merasa jauh lebih baik karena aku melihat wajahmu tampak lebih segar hari Ini?" Tanya Ama' Si Buku Tabu kepada Be' Karatan Sare. "Benar sekali yang kau katakan itu, suamiku. Hari ini badanku terasa jauh lebih sehat dari biasanya. Mungkin karena buah segar yang aku makan tadi malam. Terima kasih suamiku," jawab Be' Karatan Sare. "Syukurlah Jika demikian, aku akan sering membawakanmu buah-buah segar untuk kau makan. Kau harus sembuh. Aku berjanji akan merawatmu sampai kau sembuh istriku. "Terima kasih, suamiku. Jangan lupa, yang lebih penting adalah merawat kedua anak kita sampai mereka dewasa," kata Be' karatan Sare sambil tersenyum kepada suaminya. Ama' Si Buku Tabu berusaha membalas senyuman istrinya itu. "Dengarkan baik-baik, istriku. Hari ini aku pergi berburu dan mengajak kedua anak kita untuk ikut bersamaku. Awalnya aku hanya ingin mengajak Sanggoan Amas saja. Namun, setelah aku pikir-pikir, lebih baik kau beristirahat saja di rumah. Tidak perlu mengasuh Bunga Sio Amas di rumah. Percayalah mereka akan aman bersamaku," kata Ama' Si Buku Tabu. Be' Karatan Sera terdiam sejenak. la berpikir apakah tidak repot jika harus membawa Bungsa Sio Amas berburu. Ama' Si Buku Tabu memeperhatikan istrinya. Ia mengerti apa yang menjadi kekhawatiran istrinya itu. "Tenanglah istriku. Semua akan baik baik saja. Mereka akan berada di tempat yang aman, "Ama Si Buku Tabu menyakinkan istirnya. "Baiklah jika demikian, suamiku. Aku percaya, bawahlah mereka bersamamu, “kata Be Karatan Sare sambil tersenyum kepada suaminya. Ama 'Si Buku Tabu membalas senyuman Istrinya itu. Namun, senyumnya tampak kaku karena dipaksakan. Kemudian, pergilah mereka berburu dengan peralatan seadanya seperti tombak, sumpit dan parang. Bunga Sio Amas sedang tidur di gendongan punggung Ama' Si Buku Tabu. Punggung yang menghangatkan badan membuat Bunga Sio Ambas tertidur pulas. Sementara, Sanggoan Amas berjalan sendiri di samping ayahnya. la terlihat menggedong sebuah keranjang berisi bekal dan pakaian. Terkadang ia harus jatuh tersungkur karena kakinya yang kecil tersangkut rumput rumput liar. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk berburu. Mereka terus berjalan masuk ke dalam hutan rimba melewati jalan yang penuh lumpur dan berbukit bukit. Setelah dirasa cukup jauh berhentilah mereka di satu tempat di bawah pohon yang sangat besar. Lalu, berkatalah Ama' Si Buku Tabu kepada Sanggoan Ambas, "Anakku, kita akan membuat sebuah pondok kecil di sini. Sepertinya malam ini kita tidak bisa pulang karena sudah berjalan terlalu jauh. Kita akan menginap di sini. Nak, kamu jagalah adikmu dulu. Ayah akan pergi sebentar untuk mencari kayu dan beberapa bahan untuk membuat pondok kita." "Baiklah, ayah," kata Sanggoan. Amas sembari menggendong adiknya. Kemudian pergilah Ama'Si Buku Tabu masuk ke dalam hutan. Sunyi, hanya suara kicauan burung-burung yang menemani. Sesekali terdengar sayup-sayup suara lolongan yang membuat Sanggoan Amas merinding ketakutan. Selang beberapa waktu setelah Ama' Si Buku Tabu pergi, Bunga Sio Amas menangis keras. Sanggoan Amas pun berusaha mengibur adiknya dengan bersenandung sambil mengusap usap kepala adiknya. "O...ooo...oa..tidurlah adikku Bunga Sio Amsas........ ooo.... Oa.. tidurlah adikku sayang..." Kemudian Sanggoan Amas menengadah ke langit. Tampak langit senja mulai ditutupi oleh awan hitam. Hati Sanggoan Amas mulai berkecamuk ketika mendung menyelimuti langit. la takut jika hujan akan turun karena mereka belum mempunyai pondok untuk berteduh. Hatinya pun begitu cemas karena ayahnya belum juga kembali. Untuk menghilangkan rasa takut, Sanggoan Amas terus bersenandung bahkan tanpa ia sadari ia pun tertidur dengan posisi duduk bersandar di bawah pohon yang besar itu. Sementara, adiknya tidur di sampingnya beralaskan tikar kecil yang mereka bawa dari rumah. "Sanggoan Amas, Sanggoan Amas... bangunlah nak," Ama' Si Buku Tabu menempuk nepuk pundak Sanggoan Amas yang masih tertidur pulas. Ketika Sanggoan Amas membuka matanya, ia mengerutkan keningnya. la tampak sedikit terkejut karena sudah berada di dalam satu pondok, la menoleh ke kiri dan ke kanan, tampak keadaan sudah mulai gelap. Tampak di depannya sudah duduk ayahnya sambil menggendong Bunga Sio Amas di pangkuannya. Ama' Si Buku Tabu sedang menyuapi Bunga Sio Amas. "Kita di mana, Ayah?" tanya Sanggoan Amas sambil menoleh ke sekelilinnya. "Kita sedang berada di tengah hutan. Ayah sudah membuat pondok saat kau sedang tertidur di bawah pohon itu. Setelah pondok selesai, ayah mengangkatmu ke sini. Nah, makanlah terlebih dahulu. Ayah membawakan kalian banyak makanan dari hutan. Setelah itu, baru kita istirahat. Besok pagi kita akan mulai berburu. Siangnya baru kita kembali. Kasihan Ibumu sendirian di rumah." "Baiklah, ayah." Keesokan paginya, Ama'SI buku Tabu membangunkan kedua anaknya untuk segera berslap karena mereka akan berangkat berburu. Namun, cuaca kembali mendung sehingga Ama' Si Buku Tabu memutuskan untuk berangkat seorang diri. "Anakku Sanggoan Amas. Ayah akan pergi berburu seorang diri saja hari ini. Kamu dan adikmu tinggallah di pondok. Tunggu ayah. Jangan ke mana-mana. Dalam keranjang sudah ada banyak persediaan makanan yang ayah siapkan. Ingat anakku, jagalah dengan baik adikmu." Sanggoan Amas merasa sedikit kecewa karena la sebenarnya ingin sekali pergi berburu. Namun, apalah daya karena keadaan cuaca yang tidak mengizinkannya ikut berburu kali ini. "Baiklah, ayah. Namun, ayah jangan pergi terlalu lama. Kami sangat takut sendirian di sini," kata Sanggoan Amas. "Ayah tidak akan lama. Ayah hanya berburu di sekitar sini saja. Sebelum petang ayah pasti sudah akan kembali. Nah, ayo kita makan terlebih dahulu karena ayah sudah harus pergi agar bisa pulang awal hari ini," jelas Ama' Si Buku Tabu. Kemudian setelah menyantap makanan pagi, dengan langkah yang berat, Ama' Si Buku Tabu pun pergi meninggalkan kedua buah hatinya. Entah kenapa langkahnya terasa sangat berat untuk meninggalkan mereka sendirian di pondok itu. Ada rasa khawatir yang berlebihan datang dari lubuk hati Ama Si Buku Tabu. Ketika sudah turun dari pondok, la menoleh ke belakang untuk melihat kembali kedua buah hatinya. Sanggoen Amas tersenyum kepada ayahnya, begitu juga dengan Bunga Sio Amas. la tersenyum sambil melambal-lambalkan tangannya. Tinggallah dua Amas bersaudara di pondok Itu. Sanggoan Amas menjaga adiknya dengan penuh kesabaran. la mengikuti setiap langkah kaki adiknya ke manapun ia melangkah. Saat lapar, ia menyuapi adiknya dan ketika sudah saatnya tidur ia mengayun adiknya sambil bersenandung. Ketika petang tiba, rasa cemas menghantui Sanggoan Amas karena ayahnya belum kembali. Gelap sudah menyelimuti hutan. Sanggoan Amas memberanikan diri turun dari pondok untuk menyalakan api di dekat pondok. la teringat akan perkataan ayahnya tentang kekuatan api. Hewan buas tidak akan berani mendekat ketika melihat banyak api. Senja kini sudah hilang berganti dengan malam yang semakin pekat. Tidak ada tanda-tanda ke pulangan Ama' Si Buku Tabu. Tangisan ketakutan Bunga Sio Amas memecah ke sunyian malam. Sanggoan Amas berteriak memanggil-manggil ayahnya. Tidak ada sahutan, yang terdengar hanya suara Sanggoan Amas yang menggema dan memantul kembali. Sanggoan Amas berusaha menghibur adiknya. la menggendong, mengayun, bersenandung bahkan mendongeng untuk Bunga Sio Amas hingga akhirnya adiknya itu pun tertidur. Setelah adiknya tidur, Sanggoan Amas menegarkan hatinya, la yakin jika ayahnya akan segera kembali. la terus menanti ayahnya. Namun, hingga keesokan pagi, ayahnya belum juga kembali. Sanggoan Amas meraih badan adiknya yang sudah bangun lalu menggendongnya la turut membawa keranjang yang berisi beberapa perlengkapan dan makanan. la kemudian turun dari pondok itu. la memutuskan untuk menyusul ayahnya. la terus melangkahkan kakinya melewati hutan yang penuh semak belukar sambil terus memanggil-manggil ayahnya. Setelah Jauh berjalan, dari kejauhan tampak seseorang sedang berbaring di bawah pohon besar. Sanggoan Amas memberanikan diri mendekatinya. "Ayah...," Sanggoan Amas berlari menuju orang yang sedang berbaring itu. Sanggoan Amas memeluk tubuh ayahnya itu. Namun, Ama' Si Buku Tabu melepaskan pelukan Sanggoan Amas tanpa mengucapkan sepatah kata pun lalu beranjak dari tempat itu. Sanggoan Amas dan Bunga Sio Amas terus mengikuti langkah kaki ayahnya. Langkah kakinya yang cepat membuat Sanggoan Amas setengah berlari mengejar langkah kaki ayahnya. Namun, tiba-tiba, Ama' Si Buku Tabu mengambil langkah seribu sehingga Sanggoan Amas dan adiknya tertinggal jauh sampai kehilangan jejak ayahnya. Sanggoan Amas dan Bunga Sio menangis sambil terus memanggil ayahnya. Terdengar suara yang memanggil nama sanggoan Amas sehingga ia terus mengikuti suara itu. Samar-samar dari kejauhan terlihat kembali ayahnya di balik sebuah pohon besar. Sanggoan Amas mengejar ayahnya sementara Bunga Sio Amas terus menangis di gendongannya. Setibanya mereka di balik pohon itu, tidak didapati ayahnya di sana, dan yang ada di balik pohon itu hanya seekor kidang besar. Tampak kidang itu memandang Sanggoan Armas dengan tajam. Sanggoan Amas berlari menjauh dari binatang itu. Mereka terus berlari hingga kehilangan arah. Sanggoan Amas tidak dapat menemukan jalan pulang menuju pondok mereka. Mereka tersesat di tengah hutan rimba. Sanggoan Amas berusaha menenangkan adiknya yang terus menangis. Di sepanjang perjalanan, tampak la berpikir keras. Apa yang telah terjadi. la kembali teringat kata-kata ayahnya untuk tidak pergi kemana-mana. Namun, la mengabaikannya. la sungguh menyesal. la juga teringat perkataan ibunya dulu bahwa di hutan ini ada satu binatang yang bisa menjelma menjadi manusia. la yakin, binatang yang mereka lihat hari ini adalah wujud binatang yang telah menjelma menjadi ayahnya. Di tengah hutan, Sanggoan Amas dan Bunga Sio Amas beristirahat sejenak di bawah pohon yang rindang. Tampak buah-buahan segar di atas pohon tempat mereka berlindung. "Adikku, Bunga Sio Amas. Engkau pasti sudah lapar. Tunggulah sebentar di sini. Abang akan memetik buah yang ada di atas pohon ini. Lihatlah, buah-buah yang ranum itu, pasti segar rasanya," kata Sanggoan Amas. "Lapar... mau makan...," kata Bunga Sio Amas mengerti. Kemudian Sanggoan Amas pun memanjat dan memetik buah-buah yang segar itu dari pohonnya. Setelah itu mereka pun makan buah-buah itu untuk mengganjal rasa lapar. "Adikku, kini kita seorang diri saja tanpa ayah dan ibu bersama kita. Kau janganlah rewel. Kita harus bisa mencari jalan pulang dan kembali berkumpul bersama keua orangtua kita," kata Sanggoan Amas. "Iya abang Ki-ta ha-rus pu-lang. Aku ta-kut abang...", kata Bunga Sio Amas terbata-bata. "Tenang adikku. Abang akan melindungimu. Jangan kemana-mana tanpa abang.” Sanggoan Amas dengan peralatan seadanya, memutuskan membuat pondok yang kecil dapat digunakan sebagai tempat berteduh. la juga membuat peraplan untuk menghangatkan badan dan mengusir binatang-binatang buas dari mereka. Untuk makanan, Sanggoan Amas mengambilnya dari hutan yang dekat dengan pondok kecil mereka. la tidak pernah meninggalkan adiknya sendirian. Kemanapun ia pergi, Bunga Sio Amas selalu di bawa bersamanya. Sementara itu, sekembalinya Ama' Si Buku Tabu ke pondok mereka alangkah terkejutnya ia karena pondok telah kosong. la mencari mereka selama berhari-hari ke dalam hutan, tetapi hasilnya nihil. Dengan perasaan sedih, ia pun memutuskan kembali ke rumah karena ia khawatir akan istrinya yang di tinggal sendirian di rumah. Kepulangan Ama' Si Buku Tabu tanpa anak-anaknya membuat Be' Karatan Sare makin bersedih. la yang awalnya sudah mulai sehat kembali jatuh sakit. Hatinya begitu pilu mengenang kedua buah hatinya. Namun, ia sangat yakin jika kedua anaknya itu masih hidup dan berjuang menaklukkan kerasnya hidup di dalam hutan. Rasa kecewanya sangat dalam kepada Ama' Si Buku Tabu sehingga ia tidak mau berbicara pada suaminya itu. Suaminya merasa sangat bersalah kepada istrinya karena kehilangan kedua buah hatinya. Namun, ia tidak bisa berbuat banyak, yang ada dalam pikirannya saat ini adalah bagaimana menyembuhkan istrinya dan mendapatkan maaf dari istrinya. Setiap hari istrinya terus menangis pilu sampai air matanya kering. la tidak mau menyentuh makanan selam beberapa hari. Ama' Si Buku Tabu membujuk istrinya agar mau makan. Namun, hal itu tidak pernah digubris oleh Be' Karatan Sare. Hati keduanya sangat berduka. Semenjak kehilangan kedua buah hatinya, Ama' SI Buku Tabu mengalami masa-masa yang sangat sulit dari sebelumnya. Sudah berhari-hari Be' Karatan Sa tidak menyentuh makanan dan minuman. Begitupun dengan Ama' Si Buku Tabu. Tidak ada gunanya la makan jika Istrinya tidak mau makan. Hingga tubuh keduanya makin lemah dan jatuh sakit. Melihat Ama' Si Buku Tabu jatuh sakit, Be' Karatan Sare menjadi sangat kasihan. la tidak ingin melihatnya suaminya sakit seperti dirinya. Hingga akhirnya ia pun memutuskan untuk makan dan mengajak suaminya makan bersama. Be' Karatan Sare berpikir, jika mereka pulih mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk mencari kedua buah hati mereka. Hari berganti hari, tahun berganti tahun. Roda waktu terus berputar. Dua Amas bersaudara kini tumbuh dewasa. Sanggoan Amas tumbuh menjadi laki-laki yang berparas rupawan. Lukisan Tuhan yang maha sempurna di wajahnya. Badannya tinggi kekar, kulitnya kecokelatan karena sering terbakar sinar matahari. Begitu pun dengan Bunga Sio Amas yang tumbuh menjadi gadis elok berparas ayu. Badannya tinggi semampai. Rambut lurusnya yang panjang terurai menambah sempurna ciptaan Sang liahi. Kedua bersaudara ini berkelana di dalam hutan. Mereka hidup bebas. Namun, bahagia bersama indahnya alam. Mereka telah menyatu dengan alam dan bersahabat dengan binatang-binatang yang hidup di hutan. Suatu hari, Sanggoan Amas sedang memetik buah segar di atas pohon yang sangat tinggi. Buah-buah yang ranum terdapat di puncak pohon itu hingga ia terus memanjat sampal ke puncak pohon. Alangkah terkejutnya Sanggoan Amas ketika melihat satu bangunan yang sangat tinggi dan besar berada di tengah hutan. Bangunan yang berkilau-kilau seperti emas itu menarik hatinya dan membuatnya penasaran. Segera la turun dari pohon itu dan memberitahukan adiknya Bunga Sio Amas. Keduanya penasaran, la mengajak adiknya itu untuk melihat bangunan itu lebih dekat. Medan yang ditempuh untuk mendekati bangunan itu sangat berat. Keduanya harus melewati hutan belantara dan batang sungai yang mengalir deras. Namun, mereka tidak putus asa untuk mencapai bangunan itu. Setelah berhari-hari melewati hutan belantara itu, akhirnya tibalah mereka di dekat bangunan yang dindingnya berkilau seperti emas itu. Namun, dari kejauhan, mereka mendengar suara dengkuran yang sangat keras berasal dari dalam bangunan. Ternyata bangunan itu adalah rumah yang memiliki ukuran yang sangat besar dan tinggi. Dengan sangat hati-hati, mereka berjalan perlahan mendekati bangunan itu. "Bunga Sio Amas, tunggulah di sini sebentar. Aku akan melihat keadaan di dalam rumah itu," perintah Sanggoan Amas. "Baiklah abangku, Sanggoan Amas. Hati-hatilah." Sanggoan Amas berjalan perlahan untuk melihat isi rumah itu, Alangkah terkejutnya Sanggoan Amas melihat wujud yang sangat besar dan panjang sedang tidur berbaring di lantai rumah yang terbuat dari batu pualam itu. Itu adalah wujud Baki Antu Longke, sesosok makhluk yang sangat besar dan tinggi yang memiliki wajah yang sangat menakutkan Ternyata rumah itu merupakan rumah yang didiami oleh makhluk raksasa yang sangat mengerikan. Sanggoan Amas melihat makanan yang melimpah ruah memenuhi sebagian besar ruang di dalam rumah itu. Sanggoan Amas berjalan perlahan-lahan masuk ke dalam rumah karena la takut membangunkan Bold Antu Longke. Setelah melihat sekeliling romah itu, Sanggoan Amas segera berlari menghampiri Bunga Sio Amas dan memberitahukan apa yang ada di dalam rumah itu. Beberapa saat kemudian, tampak Baki Antu Langke keluar dari rumah itu. Saat kakinya melangkah, tanah berguncang dengan hebat seperti gempa. "M...mm bau manusia...," Baki Antu Langke tampak mengendus-endus sambil melihat sekelilingnya. Sanggoan Amas dan Bunga Sio Amas bersembunyi di balik pohon yang besar. Sanggoan Amas segera punya ide untuk menjebak raksasa itu. Ia pun segera keluar dari persembunyiannya. Baki Antu Langke melihat Sanggoan Amas, dan darahnya berdesir-desir hebat melihat anak manusia di depannya. Segera raksasa itu mengejar Sanggoan Amas. Badan yang sangat tinggi dan besar membuat lari Baki Antu Langke lambat, dan sesampainya di tepi jurang Sanggoan Amas berseru kepada Boki Antu Langke. "Hei raksasa buruk rupa, ke sini.. tangkap aku... seru Sanggoan Arnas. Baki Antu Longke menjadi sangat marah. Tanpa berpikir panjang ia segera mengejar Sanggoan Amas yang sudah menunggunya di tepi jurang. Malangnya, raksasa itu hanya fokus melihat Sanggoan Amas, ia tidak melihat Jurang. Saat ia sudah mendekat ke Sanggoan Amas, Sanggoan Amas mengelak... dan... jatuhlah badan Baki Antu Longke ke dalam jurang yang sangat dalam. Saat jatuh, tanah seperti gempa dengan kekuatan tinggi mengguncang seisi hutan itu. Matilah raksasa itu. Setelah kematian raksasa itu, dua Amas bersaudara tinggal di rumah ajaib yang berisi makanan yang sangat melimpah ruah. Mereka kini hidup bahagia di dalam rumah yang sangat besar itu. Singkat cerita, Sanggoan Amas sangat suka bermain bola yang terbuat dari daun kelapa. Saat la menendang dengan sekuat tenaga, bola itu terjatuh pada sungai Tamambaloh dan terbawa arus hingga ke hilir sungai. Sementara itu, Ama' Si Buku Tabu dan Be' Karatan Sare sedang mencari Ikan di sungai menggunakan perahu. Semenjak kehilangan anka-anak mereka, mereka kini berkelana ke hulu sungai berharap bertemu dengan anak- anak mereka. Mereka heran ketika melihat banyak bola yang hanyut terbawa arus sungai. Mereka berpikir jika di hulu sungai ini pasti ada perkampungan sehingga mereka pun mengikuti arus sungai ke arah hulu. Keajaiban pun terjadi, Ama' Si Buku Tabu dan Be' Karatan Sare melihat rumah besar yang ditinggali oleh Sanggoan Amas dan Bunga Sio Amas. Alangkah terkejutnya mereka melihat pemilik rumah itu. Perasaan seorang Ibu tidak bisa menolak untuk percaya bahwa itu adalah kedua buah hati yang telah lama dinantikan. Akhirnya keluarga kecil ini dipertemukan kembali di satu masa yang sangat indah.. Mereka kini hidup bahagia tanpa kekurangan makanan di rumah nan besar dan megah. Pesan Moral: Jangan lupa bersyukur kepada Tuhan Sang Pencipta. Kosakata Tamambaloh: Suku Dayak yang mendiami perkampungan Bubu: Penangkap ikan tradisional yang terbuat dari bambu Sampulo: Tuhan Paripuk: daun pandan yang digunakan untuk membuat tikar, Sampulo Padari: Tuhan Sang Pencipta Nama Penulis: Laurensiana Maria Renny, S.Pd. Asal Sekolah: SMP Kristen Immanuel Pontianak Narasumber: Ule'-ule'an lisan suku Dayak Tamambaloh Penutup : Alm. Kakek Mikael Jambel
Video belum tersedia!
Komentar
Masukan dan saran sangat membantu untuk perkembangan website dan cerita kami.
Tambahkan Komentar
Komentar : 0