Asal Mula Ba Umo
Sinopsis
Nek Inang dan keluarganya hidup di masa ketika bumi dan langit sangat dekat. Suatu hari, setelah kehilangan suaminya yang sakit, Nek Inang bertemu seorang wanita dari langit yang memberinya biji ajaib dengan pantangan tertentu. Biji tersebut tumbuh menjadi sumber makanan bagi keluarga Nek Inang, hingga suatu ketika, pantangan dilanggar secara tidak sengaja. Akibatnya, biji raksasa itu berderai menjadi butiran kecil yang kelak dikenal sebagai padi. Sejak saat itu, mereka mulai menanam padi, dan padi menjadi bagian penting dalam kehidupan mereka.
Judul Cerita | Asal Mula Ba Umo |
Penulis | - |
Ilustrator | - |
Penerbit | - |
Tahun Terbit | - |
Bahasa | - |
Umur Pembaca | - |
Asal Mula Ba Umo
Dahulu kala bumi dan langit jaraknya hanya sebatas pandang. Menurut cerita nene'-nene' (leluhur), setiap makhluk di permukaan bumi dengan mudah dapat menjangkaunya. Konon ada sebuah tangga yang selalu dapat digunakan untuk naik menuju langit. Di masa itu kehidupan manusia sangat menyatu dengan alam jagad raya ini. Semua manusia dapat berkomunikasi dengan segala makhluk. Disebuah Binuo ada sepasang suami istri Nek Inang bersama suami dan ketiga anaknya. Sang suami sudah lama terbaring sakit, sehingga kesedihan selalu meliputi keluarga tersebut. Lelaki yang tampak lebih tua dari usianya sudah berhari-hari hanya bisa terbaring lemah di bilah bambu. Tubuhnya kian melemah. Lelaki itu selalu tersenyum, ketika ada orang yang datang menjenguknya. Namun senyumnya tak dapat menyembunyikan rasa sakit yang bersarang di tubuhnya. Pagi itu, hujan masih deras, padahal dari semalam belum reda. Sang ayah memanggil kedua anak dan Istrinya. Si Sulung, si Tengah dan si Bungsu, Mereka duduk di samping sang ayah, Mereka tak dapat menyembunyikan rasa kescdihan Yang mendalam. Mereka menatap sang ayah. Rasanya tak ingin kehilangan satu momen pun bersama sang ayah yang tampak sangat lemah. Dan hanya tampak tulang berbalut kulit yang digerogoti oleh penyakit tidak diketahui. Padahal ritual badukun sudah berulangkali dilaksanakan. Bahkan banyak pamane dari binuo lain yang sudah berusaha mengobatinya. Ketiga anaknya menahan rasa sedih yang mendalam. ”oo, kamudo, ”ucap sang ayah dengan suara yang tersendat. (Anak-anakku) Ketiga anaknya menatap sang ayah. Mereka tak ingin kehilangan satu huruf pun yang keluar dari mulut sang ayah. "Nenek dah nyaru bapo, ” ucap sang ayah lagi. (Nenek dan kakek kalian sudah memanggil ayah) Ketiga anak dan istrinya terisak. Sang ayah berusaha tersenyum namun air matanya tampak berlinang di pipinya. ”Semua ‘e udah di tatapot Jilbato, kasio samak bapo,” Sang ayah tampak mengatur nafas yang kian tersendat. (Semua sudah ditetapkan Sang Jubato, mari mendekatlah kalian kepadaku). Ketiga anaknya semakin mendekat.”Dengar, kitok arus taboh niti marago Taino nyiam, Oo..... kamudo amai' bakalahi, inuk ngu. "Ujar sang ayah perlahan dengan nafas yang seinakin tersendat. (Dengarlah wahai anak dan istriku, tegarlah kalian dalam menjalani kehidupan ini. Anak-anakku kalian harus rukun galah ibu kalian dengan baik) Di suasana keheningan, hanya terdengar suara nafas sang ayah. Sesaat keheningan itu pecah menjadi tangisan pilu. Sang Ayah sudah menuju subayoln (alam orang mati). Isak tangis sang istri beserta ketiga anaknya sangat pilu dan menyayat hati. Suara petir mengggelegar, hujan semakin deras. Kesedihan merebak di hati ketiga anak dan istrinya. Setelah kepergian sang suami, Nek Inang dan ketiga anaknya dirundung kesedihan. Mereka selalu menghibur dirinya dan berusaha melupakan semua duka yang mendera setelah kehilangan sosok pahlawan keluarga. Mereka tidak ingin terus larut di dalamnya." Suatu hari, hari masih terlalu pagi, matahari belum bersinar. Alam masih tampak gelap. Seperti biasanya, sebelum pergi merambah hutan, untuk mengumpulkan bahan makanan, seperti biasanya, Nek Inang selalu menyempatkan diri lereng bukit untuk diri. Setelah selesai, Nek Inang bergegas mengemasi semua barang-barang bawaannya di atas gundukan batu di sisi pohon besar, kemudian beranjak pulang diiringi hembusan angin pagi. Langkah Nek Inang terhenti sesaat, karena tiba-tiba saja, Nek Inang mencium aroma semerbak harum, yang menyeruak ke dalam hidungnya. Nek Inang mencoba mencari sumber aroma harum tersebut, "Wusss, tiba-tiba sesosok wanita belia sudah berdiri di hadapannya. Wanita dengan pakaian indah yang tidak biasa. Nek Inang terperanjat dan ketakutan. la merasa itu adalah mahluk asing yang berasal dari tempat yang jauh. Rasa bingung, takut dan was-was berkecamuk menjadi satu di hati Nek Inang. Keringat dingin bercucuran tanpa ia sadari. Tubuhnya terasa akan membeku. la menggigil sambil memohon keselamatan kepada Sang Jubato. "OOO ... Jubato. Lindungi diri. "Nek Inang terus menyebut dan memanggil Jubato memohon keselamatan. (Oh, Jubato Lindungi kami) Nek Inang pasrah dan memberanikan diri untuk mengamati sekujur tubuh wanita itu, Pikirnya. "Aneh, ka Ulot macam nian ado andaro sorokng, anok barayuk, munkin ajoio sabangso Jukut?" Lama ia tertegun dengan rasa takut. (Áneh, di hutan seperti ini ada wanita sendirin, tidak ditemani siapapun. Mungkin dia sebangsa hantu) Suasana hening terasa mencekam. "Amegaik, o’Nek "suara perempuan langit itu memecah kesunyian. (Jangan takut) "Kau nianantu atowo Manusio, "tanya Nek Inang memberanikan diri (Kamu hantu atau manusia) "Amegaik o’Nek,"suara perempuan langit itu menyadarkan Nek Inang yang terpana. (Jangan takut, Nek) "Aku nyian atok dari angita’ nahuik sanso’ kitok. Aku atok mere kitok bege ajaib. Sanape nenek tarimo, ado pantangan nang anok muih kilok langgar. Dangarlah, tanam bege nyian ka tempatte, kitok piraro, ame nyabok, ame bongko bege nyian baparuopm bapajaji sampe anak cucu kitok. Kitok biso di makotbuahe. Ame boh ngalanggar pantangan pantangan kowo. Mun ngalanggar, buahe jadi baserakan jadi enek-enek sidi. Kitok harus karajo karas, nunguik lamo supayo namu 'an buah kowo. Mun mauk, icoklah. Tanamlah baseket batok." Nek Inang menangguk tanda setuju kemudian menerima pemberian sang bidadari berupa bungkusan yang didalamnya terdapat 3 biji. (Aku datang dari langit. Aku mengetahui kesulitan yang kalian alami. Untuk itu, aku datang ingin memberi biji ajaib. Namun scbclum ncnck tcrima ada pantangan yang tidak boleh dilanggar. Dengarlalı, tanamlah biji ini pada tempnt yang baik, peliharalah dengan baik, jangan dinodai dengan perkataan yang kasar. Biji ini berkembang dan menjadi banyak secara ajaib, hingga anak cucu nenek nanti. Jagalah pantangan itu. Jika melanggar maka biji ini maupun buahnya nanti akan berhamburan menjadi sangat kecil. Apakah nenek setuju? Jika setuju, ambilah. Nenek dapat menanamnya di sekitar bantang. Suatu hari ia tumbuh dan berbuah seperti ini) Kemudian wanita langit itu naik ke angkasa semakin lama semakin menghilang. Hanya lambaian tangannya yang masih terlihat. Semakin lama semakin menghilang di balik awan. Menyadari peristiwa nyata yang barus saja di alami, Nek Inang tak sabar untuk membawa pulang biji pemberian wanita langit, kemııdian ia bergegas pulang ke bantang. Sesampainya di bantang, Nek Inang menyimpan biji-biji itü ke dalam tampayot (tempayan). Pada malam harinya, barulah Nek lnang nıemanggil ketiga anaknya, kemudian menceritakan peristiwa yang baru saja dialami. Keesokan harinya mereka menanam biji-biji itu dengan suka çita. Tidak sulit menanam dan memelihara tanaman itu, Beberapa bulan biji itu tumbuh dengan subur, dan menghasilkan buah yang sama berupa biji raksasa, yang mirip dengan bijinya, akan tetapi ukuran sangat besar. buah itu menyerupai umbi-umbian yang berukuran besar, bentuknya lonjong seperti bola tangan. Nek Inang beserta ketiga anaknya mencoba memetik buah itu. la tidak sabar ingin segera tahu tentang rasa dan khasiatnya, seperti yang dikatakan Oleh sang bidadari. Satu biji buah raksasa itu dapat dikerat menjadi beberapa bagian. Setiap bagian dapat memenuhi kebutuhan makanan keluarga. Oleh karenanya, satu biji raksasa itu dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama. Kini Nek Inang beserta anak-anaknya memiliki sumber makanan baru. ”Umak, kowo rupae makanan ampat ka angita nyaman Sidi rasae.” Kata anak-anak Nek Inang. (lbu, ternyata buah langit enak sekali rasanya) ”Auk nak, tapi ame kau poot dirik harus basyukur ka Jubato, sau ingat pasot urok angita panabanan bege nyian. ” Kata Nek Inang. (Iya, tapi jangan lupa Kita harus bersyukur dan selalu ingat pcsan orang langit yang membawa biji ini) Suatu hari Nek Inang memetik buah yang masih tersisa satu di pohonnya. Pohon itu sangat ajaib, setiap kali dipetik, pada esok harinya selalu muncul buah baru lebih banyak. Oleh karena itu, Nek Inang beserta penghuni bantang Iain tidak pernah kekurangan bahan makanan. Dengan suka cita Nek Inang membawa masuk biji raksasa itu dan menuju ke arah depan tungku. Seperti biasa dengan posisi nyarong kokng (jongkok atau duduk di lantai), ia membuat beberapa keratan, si Bungsu membantu mengemas peralatan masak, sementara si Sulung dan si Tengah menyiapkan ranting dan kayu bakar. Kali ini Nek Inang membuat keratan lebih banyak dari biasanya, karena beberapa tamu dari Binuo lain akan berkunjung. Nek Inang tampak serius dan tergesa-gesa membuat keratan biji raksasa itu. Hingga Ia sedikit mengabaikan pertanyaan si Bungsu. “Oo mak, ari nian sangapeo karat kito ' nyuman jukut ko, tanya Si Bungsu. (Oh, ibu hari ini berapa kerat buah itu yang akan kita masak). Sang ibu tidak menjawab hingga beberapa kali sang anak mengulang pertanyaan itu dengan nada suara yang lebih tinggi. "Oo, Mak!, ari nian sangapeo karat kito’ nyuman, tiga atau dua!! ” Si bungsu mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali, (Oh, ibu hari ini berapa banyak kita akan masak). Namun sang ibu tidak mendengarnya. Dan si bungsu Yang sedikit temperamental berteriak memanggil sang ibu, “Oooo…… Maaaaaaaakkkkk!!!!,” Teriak si Bungsu Saking terkejutnya Nek lnaııg berucap, "Adanok…adanok, udah ku padoh duo ... tiuw udah cukup. (udah ibu bilang dua tiga kerat sudalı cukup). Tanpa sengaja, tangan Nek Inang terkena mata bayukng (beliung) yang tajam. "Krasss,” darah pun bercucuran bersamaan dengan itu pula, tanpa disangka biji raksasa berderai berhamburan memenuhi dapur dan tungku. Biji raksasa itu kini berubah menjadi butiran— butiran kecil. Angin bertiup kencang, terdengan suara gemuruh seperti petir. Padahal tidak sedang hujan. Entah dari mana sumbernya, sayup-sayup terdengar suara memanggil Nek Inang. "Nek Inang, kitok udah ngalanggar pantangan kowo. Mulai kandiok bııkolah utot unluk nanam bege nang baserakan, supayo jasi banih dan mayak, supayo kitok biso nyukupi keperluan kitok sampe anak cııcu nano, bare namo bege kowo padi, karena asal mula bege kowo dari angila. (Nek Inang, kalian sudah melanggar pantangan itu. Mulai saat ini bukanlah hutan untuk menanam biji-biji yang berserakan itu, agar menjadi benih dan berkembang biak. Dengan, demikian, kalian dapat memenuhi kebutuhan hingga anak cucu kelak. Berilah nama biji padi, karena asal mula biji itu dari langit) Kemudian suara itu menghilang melewati tingko 'otn (jendela atap). Angin kembali bertiup semilir seperti sedia kala. suara gemuruh telah hilang. Alam kembali tenang. Nek Inang dan si Bungsu saling bertatapan. "Umak, maaf boh. Gara-gara aku nyiam semuae diri jadi jayo. dirik pasti nano susoh payoh nanam bege-bege nyiam, kitok nungguik lamosupayo jadi manyak supayo dirik biso makot jukut kowo. (Oo, ibu maafkan aku ya. gara-gara aku semua jadi begini. Kita akan bersusah payah memungut dan menanam biji-biji itu, kita akan menunggu lama supaya menjadi banyak dan kita bisa memakannya) Nek Inang terdiam sambil memegangi luka di tangannya. Kedua anaknya yang lain segera membereskan barang-barang dan memunguti bulir-bulir padi yang berserakan dan memasukannya ke dalam tempayan. "Tahatnik bege-bege nyian bak-baik. Ampagi dirik baumo nanam io.” Nek Inang membuka percakapan. (Simpanlah baik-baik biji-biji padi itu. Beşok kitli akan segera membuka lahan untuk menanam padi itu). Kini mereka berkumpul di serambi. Membicarakan peristiwa yang baru dialami. Nek Inang berpesan kcpada anaknya. jangan membuat marah orang tua, dan harus selalu sabar dalam bekerja. Ketiga anak Nek Inang mengangguk minta maaf kepada ibunya. "Dah waktue karajo koat, nano Pun kitok baranak cucu, makae dirik harus nanam samuae’ bege nyiam supayo biso isud lebih manyak. Dirik saling bantu sabayo bayo ba urokg bantang." Kata Nek Inang. (Saatnya kita bekerja keras. Nantinya juga kalian akan beranak cucu jadi kita harus menanam semua biji ini agar dapat berkembang biak menjadi banyak. Kalian harus bergotong royong dengan penghuni bantang lainnya) Beberapa hari kemudian Nek Inang sekeluarga dan penghuni bantang lainnya mengadakan ritual untuk bapadoh (memberitahu) dan memohon ijin dan restu kepada para jubato, awo pamo dan roh-roh lainnya bahwa mereka akan mulai ba-umno. bergotong-royong membuka hutan untuk lahan tempat menanam biji padi. Mereka merawatnya hingga panen tiba dengan diawali ritual sesuai tradisi di tempat itu. Sebagian benih padi digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka dan sebagian benih yang berbulir terbaik ditanam kembali. Begitulah seterusnya, setelah panen mereka membuka hutan baru sebagai lahan untuk membuat ladang baru, Lahan bekas ladang lama dihijaukan kembali menanaminya dengan tanaman buah-buahan dan tanaman lain sebagai tanda bahwa lahan itu merupakan bekas garapan mereka. Sesuai tradisi lahan itu menjadi milik si pembuat ladang secara turun temurun, Itulah asal mula suku Dayak Salako Garantuk Sakawokng bercocok tanam padi ladang, yang dikenal dengan istilah Ba-umo. SELESAI NILAI PENDIDIKAN KARAKTER Dari cerita yang berjudul Asal mulo Ba-Umo, terdapat beberapa nilai pendidikan karakter yang dapat diajarkan dan digunakan dalam pembinaan dan pengembangan pendidikan karakter pada generasi muda saat ini. Nilai pendidikan karakter yang terdapat pada cerita di atas adalah,’ Amanah, berbakti pada orang tua, bergaya hidup sehat, kerja keras, sikap saleh, iman dan takwa, rasa syukur, cekatan, empati, mau berbagi, kerajinan, kepedulian, ketaatan. saling menyayangi (kasih sayang), mcnghormatí, bertanggungiawab, keberanian. keingintahuan, ulet/gigíh, kemanusiaan, kreatif dan inovatif. PESAN MORAL Pesan moral dari cerita tersebut adalah: Manusia harus menghargai Sang Pencipta, dan mensyukuri karunia Tuhan. Manusia harus bekerjakeras agar kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi. Manusia diajarkan untuk patuh, menghargai, menyayangi dan menaruh rasa hormat kepada orangtua. Manusia harus menjaga keseimbangan alam dan turut melestarikan lingkungan alam. Manusia harus berpegang teguh pada amanah dan kebenaran.
Video belum tersedia!
Komentar
Masukan dan saran sangat membantu untuk perkembangan website dan cerita kami.
Tambahkan Komentar
Komentar : 0