Kisah Panyeraang Lung
Sinopsis
Dahulu kala, di tanah pedalaman Kalimantan yang begitu subur dan hijau, tinggallah seorang gadis bernama Panyeraang Lung, putri dari seorang wanita sakti bernama Ine Aya' Lung Danum di muara sungai Kalimaan. la adalah gadis yang berparas sangat cantik, suaranya merdu, kulitnya putih bersih dan rambutnya hitam tergerai sebatas pinggang. Begitu banyak pria ingin mempersuntingnya sebagai istri. Namun, Panyeraang Lung menolak setiap tawaran yang datang kepadanya sebab ia belum ingin menikah, lagi pula tak seorang pria pun sanggup membuat hatinya tertambat.
Judul Cerita | Kisah Panyeraang Lung |
Penulis | - |
Ilustrator | - |
Penerbit | - |
Tahun Terbit | - |
Bahasa | - |
Umur Pembaca | - |
Kisah Panyeraang Lung
Diangkat dari cerita rakyat suku Kayaan yang tinggal di Mendalam, Kapuas Hulu. Dikisahkan oleh Lil' Long, diedit oleh Pastor A. J. Ding Ngo, SMM, dillustrasikan oleh anak-anak pencerita, Paran Lii' dan Alel Sano, digital manuskrip oleh S. Morgan dan diceritakan kembali oleh Angela Genoveva. J. G. Dahulu kala, di tanah pedalaman Kalimantan yang begitu subur dan hijau, tinggallah seorang gadis bernama Panyeraang Lung, putri dari seorang wanita sakti bernama Ine Aya' Lung Danum di muara sungai Kalimaan. la adalah gadis yang berparas sangat cantik, suaranya merdu, kulitnya putih bersih dan rambutnya hitam tergerai sebatas pinggang. Begitu banyak pria ingin mempersuntingnya sebagai istri. Namun, Panyeraang Lung menolak setiap tawaran yang datang kepadanya sebab ia belum ingin menikah, lagi pula tak seorang pria pun sanggup membuat hatinya tertambat. Terusiklah hati sang ibu melihat penolakan demi penolakan yang dilakukan oleh putrinya. Padahal, pria-pria yang datang bukanlah orang sembarangan. Pada suatu pagi, dipanggilnya gadis itu untuk datang menemuinya di balai besar rumah panjang yang mereka tempati. "Panyeraang Lung usiamu sudah cukup, tidak adakah salah satu dari pria yang datang menemuimu yang menarik perhatianmu?" tanya Ine' Aya' Lung Danum. "Tidak ada, Ine," jawab Panyeraang Lung, ia gusar sebab Ibunya terus saja mendesaknya untuk memilih pria bangsawan atau pria yang memiliki kesaktian untuk dinikahi. "Tidakkah kau ingin menikah?" tanya ibunya sekali lagi. "Sudah kukatakan, tidak sekarang," jawab Panyeraang Lung dengan nada tinggi dan meninggalkan tempat itu. Maka marahlah Ine Aya' Lung Danum. Sesaat setelah Panyeraang Lung keluar dari bilik rumah panjang dipanggilnyalah binatang peliharaannya, siluman ular raksasa dari muara sungai Kalimantan. "Apa gerangan engkau memanggilku, Ine?" tanya sang ular. "Pergilah ke dalam lumbung padi dan bersembunyilah. Saat Panyeraang Lung masuk ke dalamnya, belitlah dia, jangan kau lepaskan!" ujarnya geram. Si ular raksasa pun melakukan apa yang diperintahkan oleh tuannya. Siang itu tibalah Panyeraang Lung di lumbung padi hendak mengambil benih, ditemani salah seorang temannya yang bernama Hutaan Pit. Sungguh akrab mereka berdua sehingga selalu terlihat bersama. Setibanya di dalam betapa terperanjatnya mereka mendapati seekor ular besar melingkar diantara karung padi. Secepat kilat makhluk itu menyergap dan membelit mereka, dan membuat keduanya terhimpit dan tidak dapat melepaskan diri Panyeraang Long mengetahui, ular itu adalah makhluk peliharaan ibunya. la bisa menebak ini semua adalah perbuatan ine yang marah karena ia menolak untuk menikah. lapun berpikir keras mencari akal untuk bisa membebaskan diri dari belitan ular raksasa itu. Akhirnya ia berkata, "Tuan Ular, sudah lama sekali engkau membelit kami di sini, perutku amat lapar, aku mulai membayangkan buah-buah jeruk bali kepunyaan Ine di mulut sungai Kalimaan, begitu enak rasanya," kata Panyeraang Lung dengan niat berbohong. "Pergilah kau mengambil buah-buah jeruk itu untukku," katanya memohon. "Baiklah kalau begitu," sahut si Ular termakan oleh tipu daya gadis itu. "Aku pergi sebentar mengambil jeruk bali itu untukmu." Pergilah dia menuju mulut sungai hendak mengambil beberapa buah jeruk untuk dimakan oleh Panyeraang Lung dan temannya. Ular itu panjang sekali rupanya sehingga ketika dia sampai di hilir sungai ekornya masih berada di dalam lumbung. Tak butuh waktu lama rasanya baginya untuk mengambil apa yang diinginkan oleh Panyeraang Lung. Namun, sedikit waktu itu cukup bagi Panyeraang Lung dan Hutaan Pit menyelinap keluar dari lumbung padi dan mempersiapkan perangkap. Selama ular itu pergi, selama itu pulalah mereka berdua bergegas menyiapkan ranjau buluh yang tajam. Tidak lupa mereka mengambil kue ketan sebagai bekal dalam perjalanan. Setelah menyimpan semua perbekalan ke dalam tas rotan, mereka pun berangkat menuju rimba belantara yang sunyi dan gelap. Tak ada satu pun manusia atau rumah yang mereka temui Panyeraang Lung merasa ketakutan dalam pelariannya sekaligus marah terhadap ibunya Ia menetapkan hati untuk pergi la pun tidak merasa sendirian saat ini sebab Hutan Pit berada disisinya. "Mari kita bergegas, Hutaan Pit," ujar Panyeraang Lung memecah kesunyian. "Terima kasih karena kau telah setia menemaniku," sambungnya. "Tak mengapa," sahut Hutaan Pit. "Mau kembali pun aku tidak mungkin sebab ular Itu pasti sudah mengetahui kepergian kita." Sebenarnya ia pun sama takutnya dengan Panyeraang Lung. Namun, sudah dari kecil mereka bersahabat. Tidak tega ia meninggalkan temannya seorang diri. Sepanjang perjalanan mereka menaburkan kue dan menancapkan ranjau, berharap ular itu terjebak oleh perangkap yang mereka siapkan. Sementara itu di tempat lain, begitu gusar dan murka si Ular mendapati lumbung telah kosong. Panyeraang Lung menipunya dan melarikan diri. Dia takut membayangkan apa yang akan dilakukan Ine Aya' Lung Danum, tuannya yang sakti itu jika ia mengetahui peliharaannya yang paling setia gagal melakukan apa yang diperintahkan. Dengan pendengarannya yang tajam ular itu menangkap bunyi ranting-ranting patah dari arah rimba. la pun meluncur melesat menuju hutan belantara seperti pemburu menemukan hewan buruannya. Diendus dan diikutinya jejak mereka. Dari kejauhan, Si Ular melihat batu-batu kecil bundar berwarna keperakan di sepanjang jejak yang ditinggalkan Panyeraang Lung dan Hutaan Pit. Semakin dekat semakin diketahui bahwa ternyata benda- benda itu bukanlah batu melainkan kue ketan. Pantulan sinar matahari yang menembus celah rimbunan pohon membuat kue-kue itu tampak bersinar. Si Ular menjilati kue kue itu. Serta merta buluh-buluh tajam yang ditancapkan Panyeraang Lung dan Hutaan Pit di tanah menusuk sisi-sisi perutnya, dan memperlambat langkahnya. Sang Ular pun mengaduh dan menggeliat kesakitan. Bertambah murkalah dia sebab sekali lagi Panyeraang Lung berhasil memperdayanya. Jauh di dalam hutan, Panyeraang Lung dan Hutaan Pit yang berlari secepat mungkin dari kejaran sang Ular mendengar suara dahan patah dan batu-batu bergeser, tanda bahwa sang siluman telah dekat. "Tak ada jalan bagi kita untuk melarikan diri," ujar Panyeraang Lung terengah- engah. "Kita akan mati,"sambungnya. Seraya berkata demikian ia menengadah dan melihat sebuah rumah di dataran yang lebih tinggi dari tempat mereka berdiri. "Mari kita bersembunyi disana," tunjuknya kepada Hutaan Pit. Bergegaslah mereka menuju tempat itu. Semakin dekat mereka ke rumah itu, semakin jelas apa yang mereka lihat. Rumah itu panjang membentang di antara awan. Tiang-tiang penyangga rumah begitu tinggi dan dililit oleh banyak rantai besi. Dinding rumah tampak beranyamkan rumput dan kulit tebu yang dari kejauhan seolah kelihatan seperti sisik.Tangganya yang berbahan tembaga kuning menjulur keluar dari pintu depan. Dengan cepat, mereka berdua naik ke atasnya dan seketika pula tangga tembaga itu berderak terangkat, ikut tertarik kembali ke atas. Dengan mencium jejak buruannya, akhirnya sampailah si ular raksasa di rumah itu. Namun, dia tak bisa mengejar Panyeraang Lung dan Hutaan Pit masuk ke dalam sebab tidak terlihat ada tangga. Dengan suara menggelegar dan marah dia berkata dari bawah, "Serahkan Panyeraang Lung kepadaku sekarang juga! Hendak kutelan dia hidup-hidup." Hutaan Pit menyahut dari dalam rumah, "Jangan terburu- buru Tuan Ular. Pasti akan kuserahkan Panyeraang Lung padamu." Panyeraang Lung dan Hutaan Pit mencari akal untuk mengenyahkan Ular Raksasa itu. Mereka melihat sebuah paron - landasan tempat menempa besi, serta kayu api yang menyala di tungku dapur. Secepat mungkin mereka menjerang paron tersebut di atas bara api. Setelah merah menyala dan luar biasa panas, Hutaan Pit membungkusnya dengan kain dan berkata dari dalam rumah, "Bukalah mulutmu Tuan Ular, sekarang juga kulempar Panyeraang Lung padamu." Si Ular membuka mulutnya dan secepat kilat Hutaan Pit melempar paron yang panas membara itu ke dalamnya. Menggeleparlah ular itu, menggeliat kesakitan sebab besi panas mematangkan isi perutnya. Itulah akhir dari hidup sang ular raksasa. Panyeraang Lung dan Hutaan Pit terduduk. Keduanya saling berangkulan dan bersyukur tidak ada lagi yang mengejar dan mengancam keselamatan mereka. Tidak terasa malam telah tiba, cahaya bulan begitu kuat memancar menerangi hari yang gelap. Mereka menyadari rumah itu sunyi dan senyap. Tak tampak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Namun, tungku yang panas, pakaian dan perkakas yang digantungkan di dinding menandakan ada seseorang yang tinggal di rumah itu. Mereka memeriksa setiap ruangan dari ujung ke ujung tetapi tidak menemukan siapa pun. Kemudian, mereka melihat anak tangga menuju loteng dan memutuskan untuk memeriksa tempat itu. Sesampainya di sana mereka mendapati loteng yang gelap dan lembab. Penerangan satu-satunya berasal dari sinar bulan yang menembus celah-celah dinding dan atap. Sesuatu seperti daun kering memenuhi hampir seluruh permukaan lantai dan terinjak oleh mereka. Mereka menunduk untuk melihat. Kulit ari kering bersisik terhampar seperti selimut, begitu banyak Jumlahnya sehingga susah bagi mereka untuk melangkah. Ketakutan menyelimuti perasaan Panyeraang Lung dan Hutaan Pit ketika sesuatu bergerak dari sudut ruangan, seperti menyadari keberadaan mereka. Saat sosok Itu tertimpa cahaya rembulan, samar-samar tampak rupanya. Kepalanya pipih, matanya tajam berkilat dan badannya panjang bersisik kasar. Lagi-lagi seekor ular besar. Ketakutan dan berlarilah mereka turun dari tempat itu menghambur masuk ke dalam sebuah kamar, menguncinya dan bersembunyi di situ. Anehnya, kali ini ular itu tidak menyerang mereka seperti siluman ular raksasa yang mereka bunuh. "Kali ini kita tidak mungkin lolos," ujar Panyeraang Lung, berdegup kencang jantungnya. "Yang bisa kita lakukan hanyalah menanti apa yang akan makhluk itu lakukan terhadap kita." "Kalau memang harus mati. Biarlah kita mati," sambungnya. Hutaan Pit mengangguk sebab ia berpikiran sama. Lama mereka menunggu, tetapi tidak terdengar suara apa pun dari loteng. Ular itu tidak mengejar mereka. Di luar sudah gelap, tidak ada jalan bagi mereka untuk meloloskan diri. Lagi pula begitu banyak kejadian yang menimpa hari itu, sudah sangat lelah mereka berlari. Mereka memutuskan untuk beristirahat saja sambil berjaga-jaga jika ular itu dating. Pagi hari tiba, Panyeraang Lung dan Hutaan Pit bangun dan menyadari tidak terjadi apa-apa terhadap diri mereka. Mengendap-endap mereka membuka pintu kamar dan melihat tangga tembaga di pintu depan sudah terjulur kembali keluar. Menyelinaplah mereka dari rumah itu dan pergi ke sungai untuk membasuh diri. Setibanya di sungai, ketika membasuh kakinya, Panyeraang Lung melihat sebuah gelang keperakan yang indah terpasang pada betisnya. "Siapa yang memasang gelang pada kakiku?" tanyanya keheranan. Hutaan Pit pun tidak mengetahuinya. Setelah selesai membasuh diri, dengan rasa ingin tahu, mereka kembali ke rumah itu. Pelan-pelan mereka menaiki tangga tembaga di pintu depan dan berjalan masuk. Di atas meja, mereka melihat nasi dan ikan terhidang. Makanan itu tertata layaknya memang disediakan untuk mereka makan. Kembali mereka berdua keheranan. Demikianlah yang terjadi pada hari-hari berikutnya. Setiap kali mereka terbangun di pagi hari, bertambah lagi seutas gelang perak pada kaki Panyeraang Lung. Begitu pula dengan makanan yang selalu saja tersedia untuk mereka santap. Akhirnya Panyeraang Lung bertekad untuk mencari tahu siapa gerangan yang melakukan ini semua. Pada suatu hari menjelang tidur, ia memutuskan untuk berjaga-jaga sepanjang malam. Hutaan Pit tertidur lelap di dekatnya. Pura-pura Panyeraang Lung menutup matanya dan menanti jika ada seseorang yang datang. Tak lama berselang, terdengar suara langkah kaki berderap pelan menuruni anak tangga loteng tempat ular besar berada. Dingin menyelimuti punggung Panyeraang Lung, jantungnya berdegup kencang ketika bunyi langkah itu semakin dekat menuju kamarnya kemudian berhenti. la menunggu dan menunggu namun tidak terjadi apa-apa Hari sudah menjelang subuh ketika Panyeraang Long mendengar suara langkah kaki itu akhirnya menjauh, arahnya menuju pintu depan. Sinar mentari fajar baru muncul, la mengintip dari jendela kamarnya dan melihat seorang pemuda melangkah turun menyusuri tangga tembaga menuju ke arah sungai membawa jala ikan. Panyeraang Lung membangunkan Hutaan Pit dan menceritakan apa yang dilihat. Begitu terkejut temannya itu mendengar ceritanya. "Mari kita keluar dan bersembunyi," ajak Hutaan Pit. "Kita tunggu pria itu kembali dan kita lihat apa yang hendak dia lakukan," sambungnya. Mereka pun keluar dari kamar dan bersembunyi di balik tumpukan karung padi di dekat tungku. Setelah menanti beberapa lama, kembalilah pemuda itu membawa ikan-ikan yang diikat dengan seutas tali. Tidak tampak wajahnya sebab Panyeraang Lung dan Hutaan Pit merunduk begitu rendah takut terlihat olehnya. Pemuda itu meletakkan ikan bawaannya di atas meja, kemudian ia mengambil semangkuk beras dan meletakannya di tempat yang sama. Dengan kesaktiannya pemuda itu mengubah beras dan ikan tersebut menjadi nasi dan lauk yang sudah matang. Kemudian, pria itu mengambil jubah yang tergantung di dinding dan mengenakannya. Terbelalaklah mata mereka berdua ketika laki-laki itu berubah menjadi sosok ular besar sesaat setelah ia memakai jubahnya. Seperti menyadari ada yang memperhatikannya diam- diam, ular itu berkata, "Keluarlah kalian dari tempat persembunyian itu" Panyeraang Lung dan Hutaan Pit terkejut dan merangkak keluar dari persembunyian mereka. Siap akan kemungkinan yang akan terjadi. Dengan cepat, Panyersang Lung mengambil sebuah kayu api dari tungku dan mengacungkannya ke arah pria itu. "Kalau kau menyakiti kami, nasibmu akan sama dengan ular besar di bawah sana!" tukasnya lantang. "Aku tidak akan menyakiti kalian," sahutnya tenang. Kemudian sosok ular itu menjelma kembali menjadi manusia. Betapa terperangahnya Hutaan Pit melihat pria di hadapan mereka. Wajahnya begitu tampan, kulitnya bersih, badannya tegap dan tidak ditemukan cela apa pun padanya. "Apakah kalian mengenalku?" tanyanya. "Tidak," jawab Panyeraang Lung. "Kami tidak mengenalmu,"sambung Hutaan Pit. "Namaku Bataang Ubung Beraan Nyagaang, Pangeran Ujung Beringin Terentang, anak yang hilang dari rumah beringin Idaa' Beraan," ujar pemuda itu. "Siapa kalian dan mengapa siluman ular raksasa itu mengejar kalian?" tanyanya. Melihat Bataang Ubung Beraan memperlakukan mereka dengan baik dan memperkenalkan dirinya, Panyeraang Lung melunak. la dan Hutaan Pit pun menjelaskan siapa mereka dan mengapa mereka bisa sampai di tempat itu. "Kalau begitu kita sama-sama berada dalam pelarian," ujarnya. "Tenang saja kalian aman bersamaku di sini, sebab tempat ini telah kulindungi dengan sihirku." "Makanlah apa yang telah kusediakan bagi kalian, wahai tamuku," lanjutnya. "Aku hendak melihat mayat ular raksasa di bawah sana." Panyeraang Lung dan Hutaan Pit pun menyantap makanan yang sudah disediakan oleh Bataang Ubung Beraan. Setelah itu, mereka pergi ke sungai untuk membasuh diri. Saat membersihkan dirinya lagi-lagi Panyeraang Lung menemukan seuntal gelang indah keperakan terpasang pada betisnya. "Pergilah dan tanyakanlah pada Bataang Ubung Beraan, apakah dia yang melakukannya," ujar Hutan Pit sambil membasuh tangannya. "Mungkin saja itu tanda bahwa dia tertarik padamu. Lagi pula sepertinya dia tidak berniat jahat terhadap kita, "lanjutnya. Panyeraang Lung menggangguk. Setelah beranjak dari sungai mereka berdua pun kembali ke rumah. Sementara Hutaan Pit sibuk berbenah, Penyeraang Lung pergi menemui Bataang Ubung Beraan yang sedang mempersiapkan kayu api dan rotan untuk membakar mayat ular raksasa. Asap membumbung tinggi ke langit. Burung-burung pipit berterbangan dari arah bangkai ular itu. "Aku hendak bertanya," ujar Panyeraang Lung menghampiri. "Ada apa gerangan?" sahut Bataang Ubung Beraan seraya berhenti dari pekerjaannya. "Apakah kau yang memasang gelang-gelang perak ini pada kakiku?" tanya Panyeraang Lung. Bataang Ubung Beraan menjawab, "Maafkan aku.Benar, aku yang melakukannya." "Akan kuberitahu satu rahasiaku kepadamu," sambungnya. "Aku memiliki kesaktian yang diturunkan oleh orang tuaku, tetapi ada pantangan yang harus aku jalankan." "Jika jubah ularku dilemparkan ke air maka aku tidak dapat memakan yang mentah, jika jubah itu dibakar maka aku tidak dapat memakan yang dimasak dengan api," ujar Bataang Ubung Beraan. "Mengapa kau memberitahuku rahasiamu ini?" tanya Panyeraang Lung "Sebab hanya kepada dia yang akan menjadi istriku kelak aku bisa mengatakan hal ini," jelas pemuda itu. Terperanjatiah Panyeraang Lung, ternyata inilah maksud pemberian gelang perak itu padanya. Dia bingung hendak berkata apa. Akhinya tibalah Hutaan Pit di situ dan memecah keheningan diantara mereka. "Apa yang hendak kau lakukan dengan bangkai ular Itu?" tanyanya pada Bataang Ubung Beraan. "Sebelum aku menjawabnya ijinkan aku bertanya kepada kalian,"tukasnya. "Apakah kalian akan kembali ke tanah tempat kalian berasal?". Panyeraang Lung dan Hutaan Pit saling berpandangan, dan mereka yakin menjawab, "Tidak." "Maukah kalian tinggal di tanah ini dan bersamaku memerintah rakyat kita dengan adil, serta membuat hidup mereka aman sejahtera?" lanjut Bataang Ubung Beraan. Kembali Panyeraang Lung dan Hutaan Pit berpandangan, tetapi kali ini nampak kebingungan. "Kami tidak mengerti maksudmu, Bataang Ubung Beraan," jawab Panyeraang Lung. Kemudian, Batang Ubung Beraan melakukan sihirnya di hadapan mereka. Panyeraang Lung dan Hutaan Pit menyaksikan dengan penuh kekaguman. Dengan kesaktiannya, ia memotong bangkai ular itu melintang kemudian bagian itu dipotongnya kembali menjadi bongkahan-bongkahan kecil dan dibakarnya di dalam api. Setelah itu ia membentangkan rotan di sepanjang sisi rumah, diguncangnya rotan pada satu sisi dan berubahlah rotan itu menjadi rumah panjang. Kemudian, diguncangnya lagi sisi yang lain dan hal yang sama terjadi, munculah rumah panjang yang kedua. Rumah-rumah itu tinggi dan kokoh, trang-trangnya terpancang mantap pada tanah di bawahnya. Saking besarnya, rumah itu cukup untuk menampung ratusan kepala keluarga. Masih tidak mengerti, Panyeraang Lung bertanya kepada Bataang Ubung Beraan, "Apa maksud dari semua ini?" Bataang Ubung Beraan hanya tersenyum saja, la tidak berkata apa-apa. Kemball la mengucapkan mantranya dan merubah bongkahan-bongkahan kecil bangkai ular yang dilemparkannya ke dalam api tadi menjadi ratusan manusia. Manusia-manusia inl ditempatkannya untuk mengisi kedua rumah. Seketika ramai terdengar orang bercakap-cakap dan bernyanyl, bunyi alat musik memenuhi udara di sekitar mereka seperti ada perayaan besar di tempat itu. Panyeraang Lung dan Hutaan Pit tercengang melihat kesaktian Bataang Ubung Beraan yang luar biasa. Kemudian kepala ular raksasa itu dibelah dua olehnya, bagian kepala yang satu dibentuknya menjadi manusia dan dijadikannya pemilik salah satu rumah, sedangkan bagian kepala yang sebelah lagi menjadi manusia pemilik rumah yang lain. Kedua rumah panjang itu saling berhadapan sementara rumah milik Bataang Ubung Beraan berada diantaranya. Lalu ujarnya kepada Panyeraang Lung dan Hutaan Pit, "Inilah rakyat yang akan kita pimpin, maukah kalian menetap di tempat ini bersamaku?" Menyaksikan kehebatan Bataang Ubung Beraan dan niatnya untuk memerintah dengan mereka berdua mengangguk. "Panyeraang Lung," lanjutnya, "Maukah kau menjadi istriku?" "Ya," jawab Panyeraang Lung tersipu. "Memerintahlah dengan adil, sejahterakanlah rakyatmu, kita jaga bersama-sama tanah yang baru ini dengan sungguh-sungguh," lanjutnya dengan mantap. Maka demikianlah awal dari kehidupan mereka yang baru bersama rakyat yang mereka pimpin. Di tanah yang baru ini, Panyeraang Lung bersama Bataang Ubung Beraan hidup bahagia, didampingi oleh Hutaan Pit sahabatnya yang selalu setia menemaninya. Rimba Kalimantan. Naskah cerita dikerjakan dan diketik oleh alm. Pastor A. J. Ding Ngo SMM, di Kepastoran Padua, Mendalam (1981). Kisah ini kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh S. Morgan dengan menggunakan Kamus Kayan-Indonesia oleh Ding Ngo; terjemahannya disunting oleh Dian Mawene (2012, 2014), kemudian disunting lagi dengan menggunakan terjemahan bebas oleh Paternus Hanye' (1994). Ilustrasi kisah-kisah di dalam buku dilukis oleh T. Alel Sano dan I. Paran Lii', anak-anak dari pencerita. Nama Penulis : Angela Genoveva Jeaneriska Geraan Asal Sekolah : SD Plus Gembala Baik Narasumber : (Penulis Naskah) Stefanus Lii' Long
Tambahkan Komentar
Komentar : 0