Asal Mula Padi (Kisah Ne'ja'ek Dan Ne'Baruakng Kulup)
Sinopsis
Pada mulanya manusia sejati yang tinggal di bumi ini, makanan pokoknya adalah "kulat karakng' yaitu jamur yang tumbuh di pohon karet yang sudah mati. Sedangkan makanan orang di Kayangan adalah nasi. Tokoh cerita yang terkenal bernama Maniamas. Mereka suka berperang dan saling membunuh yang disebut “ngayau”. Prihatin melihat kehidupan manusia yang saling bermusuhan satu sama lain, Ne'Panitah mengutus putranya yang bernama Ne' Ja'ek ke bumi. Ne' Ja'ek bersembunyi di rumput bambu aur ketika ditemukan Oleh Maniamas yang sedang pergi mengayau. Semula Maniamas akan membunuh Ne' Jaek, Tetapi setelah melihat Ne' Ja'ek terjepit tidak berdaya di rumput, mendengar bahwa Ne' Ja'ek mengaku bahwa dirinya tidak mcngetahui siapa orang tuanya, maka Maniamas jatuh kasihan padanya dan tidak jadi membunuh Ne' Ja'ek. Bahkan dibawanya pulang ke rumahnya dan tinggal bersama Maniamas.
Judul Cerita | Asal Mula Padi (Kisah Ne'ja'ek Dan Ne'Baruakng Kulup) |
Penulis | - |
Ilustrator | - |
Penerbit | - |
Tahun Terbit | - |
Bahasa | - |
Umur Pembaca | - |
Asal Mula Padi (Kisah Ne'ja'ek Dan Ne'Baruakng Kulup)
Kisah Penciptaan Masyarakat Dayak Bukit Talaga menyebut Sang Pencipta itu dengan nama: Ne' Nange Ne' Patampa', nang nampa' nonokng talino mpat tanah. (Yang mencipta yang menempa dan membentuk manusia dari tanah). Manusia pertama adalah Adam dan Siti Awa. Karena manusia Dayak Talaga meyakini bahwa dirinya berasal dari tanah, maka ketika mereka mengerjakan tanah seperti berladang, mencangkul, memarit; mereka memahami mengapa badan mereka terasa sakit, karena tubuh mereka berasal dari tanah. Mencangkul tanah berarti mencangkul tubuh mereka yang diciptakan oleh Ne' Nange - Ne' Patampa' bukan hanya Talino Manusia, melainkan juga api, air, kayu, binatang, besi, padi dan sebagainya. Bahkan mereka meyakini bahwa ciptaan-ciptaan tadi adalah bersaudara. Setelah ada, ciptaan ini diserahkan kepada para nabi sebagai penjaga dan penguasanya. Nabi Elias yang menguasai kayu, Nabi Suleman yang menguasai binatang, Nabi Isa menguasai manusia, Nor Sari menguasai padi, Nor Cahaya menguasai api, Nor Mani menguasai air, dan sebagainya yang dalam kegiatan pengobatan tradisional dipandang sebagai asal mula terjadinya penyakit dan obat penyembuhnya. Menyadari bahwa tanah ini adalah asal mula manusia Dayak pada umumnya, maka tidaklah mengherankan jika dalam melaksanakan upacara adat kampung dengan 'nyangahatn' mereka memberi makan pada tanah dengan kata – kata: "Koa nu' kita' tanaha, kade' ada nabo gumbalang pua' ubakng tungu balu batakng malintakng nang bisa nang sahakng. Diatn tampat kadia. man kadudukatn (dango, rumah, uma, bancah) kami. Ame kita' babadi bamangka' ka' tubuh ka' badan, ka' rumah ka' tanga' talino manunsia. Kami minta' kita' bapangkalango' bapangkalamak.„” ("lnilah bagianmu wahai tanah, mungkin ada ular besar dan binatang lainnya yang keramat, yang tinggal dalam lobang dan seakan – akan telah menjadi batang dan tunggul kayu yang berbisa dan berbahaya. Di sini tempat kedudukan (pondok, rumah, ladang, sawah) kami. Jangan kalian menyakiti tubuh dan kehidupan kami manusia. Kami mohon kalian membuat kami hidup enak….) Ketika membuka lahan perladangan, mercka bcrtanya pada tanda – tanda alam seperti "baburukng Atau mato" (mendengar suara burung) dan “batanung” (melihat perubahan tanda – tanda pada tumbuh - tumbuhan) tertentu, untuk menetapkan apakah di tanah ini sudah cocok diakukan suatu kegiatan berladang atau hal lain. Tempat dan luas area perladangan mereka tetapkan dengan upacara "ngawah" (memeriksa). Dalam upacara ini mereka meminta izin kepada penguasa tanah, tumbuh-tumbuhan dan roh-roh lain yang mungkin masih menghuni area yang akan mereka jadikan ladang. Meskipun mereka sudah minta izin pada penguasa alam, mereka hanya menebas dulu tumbuhan-tumbuhan kecil, sementara pohon-pohon yang besar belum boleh ditebang. Untuk menebang pohon-pohon mereka harus mengadakan upacara "nabakng" dengan mempersembahkan panggang ayam dan sebagainya. Pada upacara ini mereka meminta agar roh-roh halus yang masih mendiami pepohonan segera pindah sehingga mereka terhindar dari bahaya yang menimbulkan sakit dan bencana lainnya. Ketika tetumbuhan di area ladang sudah mengering, tibalah saatnya untuk membakar ladang. Agar kobaran api tidak menjalar ke tempat lain yang menimbulkan bencana, mereka membawa perlengkapan doa yaitu "baras banyu mang ai" (beras yang dicampur dengan minyak, dan sejumlah air dalam labu atau bambu). Baras banyu bertujuan agar orang - orang yang terlibat dalam pembakaran ladang tetap selamat. Sedangkan ai' sebagai perlambang agar api segera padam dan tidak menjalar membakari area lainnya. Asal Mula Padi (Kisah Ne' Ja'ek Dan Ne' Baruakng Ku lup) Pada mulanya manusia sejati yang tinggal di bumi ini, makanan pokoknya adalah "kulat karakng' yaitu jamur yang tumbuh di pohon karet yang sudah mati. Sedangkan makanan orang di Kayangan adalah nasi. Tokoh cerita yang terkenal bernama Maniamas. Mereka suka berperang dan saling membunuh yang disebut “ngayau”. Prihatin melihat kehidupan manusia yang saling bermusuhan satu sama lain, Ne'Panitah mengutus putranya yang bernama Ne' Ja'ek ke bumi. Ne' Ja'ek bersembunyi di rumput bambu aur ketika ditemukan Oleh Maniamas yang sedang pergi mengayau. Semula Maniamas akan membunuh Ne' Jaek, Tetapi setelah melihat Ne' Ja'ek terjepit tidak berdaya di rumput, mendengar bahwa Ne' Ja'ek mengaku bahwa dirinya tidak mcngetahui siapa orang tuanya, maka Maniamas jatuh kasihan padanya dan tidak jadi membunuh Ne' Ja'ek. Bahkan dibawanya pulang ke rumahnya dan tinggal bersama Maniamas. Karena tingkah lakunya yang halus ditambah lagi dengan postur tubuhnya yang ganteng, adik Maniamas yang bernama Dara Amutn Jatuh Cinta pada Ne' Ja'ek. Maniamas tidak keberatan dan Ne' Ja'ek pun menikah dengan Dara Amutn yang cantik itu dan melahirkan anak-anak yang bernama: Tumbaklasop, Gantang Timah, Garugu' Kase, Tongkor Labatn dan Buruk Batakng. Karena perbedaan temperamen antara Maniamas vang suka ngayau dan Ne' Ja'ek yang lemah lembut, maka lama kelamaan Maniamas kurang suka pada Ne' Jaek. Ia bermaksud membunuh Ne' Ja'ek secara diam – diam. Maka pada suatu hari diajaknya lah Ne' Ja'ek pergi mengayau. Hal ini diketahui oleh Ne' Pangadu ibunya yang masih tinggal di Kayangan bersama Ne' Panitah, ayah Ne' Ja'ek. Untuk mencegah agar Ne' Ja'ek tidak membunuh, sebab pekerjaan membunuh itu adalah dosa, maka Ne' Panitah memerintahkan burung pipit menerbangkan setangkai padi untuk dibawa kepada Ja'ek. Di tengah perjalanan Ne' Ja'ek melihat seekor burung pipit yang terbang di depannya dengan membawa setangkai padi. Maka dikejarnya lah pipit itu hingga tidak terasa sudah begitu jauh berpisah dengan rombongan Maniamas. Setelah melewati lembah dan bukit-bukit, Ne' Ja'ek dan pipit keletihan. Ne' Ja'ek bertanya kepada pipit: “Mengapa engkau mencuri padi ayahku?” Pipit menjawab: "Saya bukan mencuri padi ayahmu melainkan disuruh oleh ayahmu membawa padi ini kepadamu, karena ayahmu tidak ingin kamu menjadi pengayau, Tetapi saya tidak akan memberikannya kepadamu. Padi ini milikku." Maka bertengkarlah Pipit dengan Ne' Ja'ek. Sementara pipit berbicara, lepaslah tangkai padi tadi dari paruhnya dan jatuh ke dalam lobang di sela-sela batu, Saat itu munculah tikus dan bertanya: "Apa yang kalian berdua pertengkarkan?” Ne' Ja'ek menjawab: "ltulah Si Pipit tidak mau memberikan padi kepada saya. Padahal padi itu milik ayahku yang dikirim untukku mclalui pipit.” “Oh….gampang„.." sahut tikus. "Biar aku yang mengambilnya" lanjut tikus. Setelah padi itu diambil oleh tikus dari dalam lobang batu, tikus pun berkilah juga tidak mau memberikan padi itu kepada kepada Ne' Ja'ek. Pipit pun marah kepada Tikus. Dengan bijaksana Ne' Ja'ek memberikan pendapat: "Kalau padi itu kau bawa ke rumahmu, pasti habis kau makan" tunjuknya pada tikus. "Demikian pula kalau padi itu diserahkan padamu, pasti habis juga kau makan" kata Ne' Ja'ek pada pipit. Kalau saya yang membawanya, padi ini akan saya tanam dan menghasilkan buah, maka ia akan berkelanjutan. Jadi kita bisa terus-menerus memakannya" kata Ne' Ja'ek menjelaskan. Pendapat ini diterima oleh pipit dan tikus. Kemudian Ne' Ja'ek memberikan batasan peraturan: "Jika padi ini ditanam terlalu cepat dari musim tanam, maka tikuslah yang mempunyai bagian. Tetapi jika ditanam terlalu lambat dari musimnya, maka tanaman itu adalah bagian pipit. Supaya kita sama-sama mendapat bagian, maka padi ini akan saya tanam pada pertengahan musim, supaya pada awalnya tikus dapat makan, pada pertengahan saya dapat makan dan akhirnya pipit pun dapat makan. Dari cerita ini maka pertengahan musim tanam itu ditetapkan jatuh pada bulan Agustus sampai dengan September dan pada bulan April sampai dengan Mei musim tanam. Di luar bulan itu menanam padi, menurut kepercayaan mereka akan habis dimakan tikus atau pipit. Setelah perundingan dan mencapai kata sepakat, Ne' Ja'ek pun pulang. Sementara itu ia telah mendengar teriakan rombongan Maniamas yang telah pulang dari mengayau. Mereka pulang sambil menari – nari membawa tengkorak. Kecuali Ne' Ja’ek. Sesampai di rumah, orang-orang kampung sudah ramai. Dara Amutn dengan riang menyambut suaminya pula. Tetapi ia sangat kecewa dan marah ketika melihat yang ada di dalam otot suaminya bukan tengkorak, melainkan setangkai "bunga rumput" katanya. Dara Amutn masuk ke dalam bilik. Diambilnya kain sarungnya yang lagi basah, lalu dipukulknnnya ke muka Ne'Ja'ek, sambil mengatakan bahwa Ne' Ja'ek tidak malu tidak membela nama baik keluarga. Lalu Ne Ja’ek diusirnya, Ja'ek pun pulang ke negeri Kayangan sambil membawa setangkai padi yang dikira bunga rumput oleh Amutn. Di Negeri Kayangan Ne' Ja'ek mcnikah lagi dengan Ne' Pangingu dan melahirkan anak laki-laki yang dibcri nama “Baruakng” Ketika Baruakng menginjak masa kanak – kanak, ia suka bermain “pangka' gasikng" di halaman rumahnya. Ketika itu ia melihat banyak anak-anak lain bermain gasing di bumi. Ia pun pergi bermain dengan anak-anak itu. Setelah berkenalan ia mengetahui nama teman-temannya, yaitu: Tumbak Lasop, Gantang Timah, Garugu' Kase, Tongkor Labatn, Buruk Batakng. Baruakng pun memperkenalkan diri. Setelah letih bermain, mereka istirahat makan. Ketika Baruakng membuka bekalnya, anak-anak tadi keheranan melihat makanan Baruakng seperti ulat. Tumbak Lasop pun membuka bekalnya yang disebut “kulat karakng" oleh Baruakng. Menurut Baruakng, yang dibawanya adalah nasi, sedangkan "kulat karakng" adalah sayur bagi mereka di negeri Kayangan. Baruakng mempersilahkan kelima anak itu untuk mencicipi nasinya. Karena keenakkan kelima anak ini seakan-akan pingsan. Ketika datang ke rumah, kelima anak ini bercerita tentang kejadian tadi kepada ibunya Dara Amutn. Mendengar cerita anak-anaknya Dara Amum meminta, jika Baruakng datang lagi, agar Baruakng diajak ke rumah. Pada keesokan harinya Baruakng pun makan ke rumah mereka. Dara Amutn pun dipersilahkan mencicipi makanan. Baruakng, dan pingsanlah Dara Amutn karena keenakkan. Setelah sadar, Dara Amutn bertanya tentang asal-usul Baruakng dan orang tuanya. Dari cerita itu Dara Amutn yakin bahwa ayah Baruakng adalah suaminya, yang berarti ayah dari kelima anak-anaknya juga. Untuk itu Dara Amutn sangat senang karena anak-anaknya dapat bermain dengan akrabnya. Dara Amutn berpesan agar Baruakng membawakan benih padi. Baruakng berjanji akan membawakan benih padi, walaupun Baruakng tahu bahwa ayahnya tidak akan mengizinkannya. Baruakng mencoba membawa benih padi dengan sembunyi-sembunyi. Tetapi senantiasa ketahuan oleh ayahnya, karena bulir-bulir padi itu mengeluarkan sinar yang dapat dilihat oleh ayahnya. Karena Dara Amutn dan anak-anaknya selalu mendesak, maka pada usaha terakhir ia mengambil tujuh butir padi dan disembunyikan sehingga tidak terlihat oleh ayahnya. Barunkng tutun ke bumi membawa benih padi dan memberikannya kepada Dara Amutn. Barunkng meminta supaya benih padi itu ditanam di dapur, agar waktu buahnya masak nanti tidak kalihatan olah ayahnya di atas sana. Setelah cukup waktunya selama 5 bulan 10 hari masaklah padi tadi. Katena sudah semakin banyak, maka pada musim tanam berikutnya benih padi tadi tidak dapat lagi ditanam di dapur. Untuk itu Baruakng menyarankan agar ditanam di "tanah tumuh" (gundukan tanah oleh semut) dan dibungkus (ditudungi) dengan daun "tepo" agar cahayanya tidak terlihat dari atas. Dcmikianlah hingga tiba musim panen yang kedua dan benih padi itu kian berlipat ganda. Pada musim tanam berikutnya benih itu tidak muat lagi ditanam di “tanah tumuh” dan harus ditanam di tanah empat persegi, sepanjang batang “Tepo”. Ketika musim panen tiba, sinar buah padi yang sudah menguning kelihatan oleh Ne' Ja'ek dari Kayangan. la sangat marah dan berkata: “Gajah..., dah ada nang padi naung ka'talino. Nian pasti pabuatan Baruakng. Kao pasti kuhukum. (E...eh sudah ada rupanya padi pada manusia. Ini pasti perbuatan. Baruakng. Kau pasti kuhukum.)" Mendengar Ja'ek marah, Ne' Pangingu menasehatkan: “Ame ba dihukum nak diri' seko' ngkoa ihan, laki agi'.” (Janganlah dihukum anak kita yang satu-satunya. Apalagi ia laki-laki). Ne' Ja'ek tidak mau dicegah: “Ina' ..... ia pasti kuhukum, kutahantni' pati ka' maraga tapiatn naung.”(Tidak bisa.... ia pasti kuhukum, akan kupasang jebakan di jalan menuju tepian mandi). Sementara itu Baruakng pun naik dari bumi. Sesampai di tepian mandi ia dicegat oleh "babi tintingannya" dan babi itu berkata: “Ayahmu sungguh akan menghukum dengan jebakan itu”. Mendengar itu Baruakng pun menangis. Lalu "babi tintingannya" menyambung: “Jangan menangis. Lebih baik saya berjalan dulu. Biar aku yang terkena ranjau.” Lalu babi tintingannya pun berjalan di depan dan terkena jebakan yang dipasang Ne'Ja'ek. Babi tersebut kemudian menjelma mcnjadi "Bintakng Ada'atn (Bintang Pedoman). Ada yang discbut Bintakng Tujuh, Bintakng Oakng (bewarna merah), Bintakng Pati, Bintakng Raiakng (Bintang Rahang), yang dipercayai Oleh masyarakat Dayak sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan pertanian agar mendapatkan hasil padi yang maksimal dan mencari ramuan perumahan agar tahan lama dan tidak termakan kapang. Dari Pengetahuan perbintangan ini (mirip dengan perhitungan hari dalam penanggalan Cina) mereka menamakan hari dalam satu bulan sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan pertanian: "Sa'ari Bulatn, Sego, hari tikus. Dua Ari Bulatn,disebut Kerap, ari Pipit, Talu Ari Bulatn, disebut Ngalu, baik untuk mendatangkan rejeki, Ampat Ari Bulatn, apa dicinta mudah dapat, Ari Lima, Ari Anam, Ari Tujuh, Baik (harus lihat bintangnya), Ari Lapan disebut Tungu, jahat. Segala tanaman tinggal tunggul habis dimakan binatang. Ari Sambilan, Sapuluh, Sabalas, baik. Ari Dua Balas, Abis bulatn. Ari Talu Balas, disebut Kira, jahat. Ari Ampat balas, ari aya' Lima Balas, pariama, bulan purnama. Anam balas, Riripatn. Tujuh Balas, Ngantukng, baik untuk memancing di sungai, Lapan Balas, Ngaluakng (Semua binatang kepalanya mengarah ke bawah, masuk ke bumi). Sambilan Balas, tutup bulatn. Duapuluh, Dua puluh satu, disebut hari dua. Dua puluh dua, disebut kadakng, (Binatang banyak keluar dari perut bumi. Kalau mau mencari tengkuyung dan binatang malam, pada saat ini mudah didapat. Dua puluh talu, dua puluh ampat, dua puluh lima, dua puluh anam. Dua puluh tujuh, semuanya baik untuk kegiatan pertanian. Dua puluh lapan, Kira, jahat. Mudah mati muda. Dua puluh Sambilan, kalalah idup. Suka bimbang. Tiga puluh, Ari Tutup, kurang baik, Pada hari tiga puluh ini baik jika dipakai untuk mcmbuka tanah bekas kuburan tua, atau membuka tanah yang diduga dihuni olch mahluk-mahluk halus. Untuk menetapkan kepastian tentang perhitungan hari, mereka melihat Bintakng Adaatn pada dinihari (Bintang Venus dan Mars). Baruakng yang merasa tidak tenang karena akan dihukum oleh ayahnya, meminta pada ibunya untuk pergi ke bumi. Untuk itu ibunya memberi nasehat agar Baruakng berjalan meniti "jalan yang lurus". Baruakng pun pergi. Sesampai dipersimpangan jalan, Baruakng melihat bahwa jalan yang lurus itu banyak semak berduri, sedangkan jalan yang menyimpang ke sebelah kiri lapang dan mulus. Baruakng pun meniti jalan yang menyimpang ke kiri. Sesampai di sebuah kampung ia bertemu dengan seorang gadis yang mengaku bernama Jamani yang kemudian menjadi isterinya. Setelah tiba waktunya, isterinya pun melahirkan. Sesuai kebiasaan di kampung itu, maka isterinya melahirkan di atas 'para' loteng. Ketika isterinya akan pergi mandi, isterinya berpesan agar Baruakng tidak naik ke loteng. Baruakng merasa heran mengapa isterinya melarang melihat anak-anaknya. Baruakng nekat untuk melihat anak-anaknya. Setelah mencari ke sana kemari, Baruakng mengintip isi bakul dan melihat bahwa anak-anaknya itu berbentuk burung-burung, yang kemudian diketahui nama-namanya, yaitu: "Keto Laki, Keto Bini, Keto Maniamas, Keto Tungal, Keto Bakar, Buria', Cece, Kohor, Papo', Buragah, So'oh, Adatn, Kutuk, Bilang, Mago', Pangalatn, Putihgigi, Macet, Parere, Pararah, Kijakng, Owanyi', Ujatn Darakng, Binalu, Duya' Puanggana, Puanggani' dan sebagainya. Oleh sebab itu Baruakng dengan diam-diam pulang ke Kayangan menemui ibunya. Baruakng bercerita mengenai keadaan jalan yang dilaluinya serta keadaan isteri dan anak-anaknya. Dari ibunya baru ia mengetahui bahwa isterinya bukan manusia melainkan "Ne' Si Putih Panara Subayatn" di negeri orang mati. Untuk kedua kalinya Baruakng diperintahkan pergi meniti jalan lurus oleh ibunya'. Tetapi Baruakng tidak menghiraukan pesan ibunya sehíngga ia tetap meniti jalan yang menyimpang ke kiri. Baruakng menemukan sebuah kampung dan berjumpa dengan seorang gadis yang mengaku bernama Petor Batu Buntar Muha, seorang gadis hantu buta. Karena gadis ini cantik, maka Baruakng tidak lagi ingat dengan pesan ibunya untuk menikahi Jamani Tabikng Tingi. Sekali Iagi Baruakng sangat kecewa bercampur takut, karena anak-anak yang lahir dari perkawinannya dengan Petor Batu Buntar Muha tidak ada yang sempurna, semuanya cacat dan menakutkan. Karena cacat dan menakutkan, maka anak-anaknya yang lahir dibuangnya, seperti: Sarinteke, dimuang ka' tongkotn tanga', Rudu jaji setan jaji balis, Jampuna (Raja Pujut) ka' batu garah atau ka' kurebet, Jampekong (Raja Mawikng) nyamuang ka' kayu aya' (kayu besar), dan sebagainya. Selain itu ada juga yang dibuangnya ka' akar biruru, ka' putat, ka' talinse dan sebagainya. Itulah sebabnya dengan diamdiam lagi Baruakng pulang menemui ibunya. Dari keterangan ibunya Baruakng mengetahui bahwa yang menjadi isterinya sekarang ini adalah Hantu Buta. Hingga saat ini masyarakat Dayak Bukit Talaga percaya bahwa orang-orang akan mendapat sakit jika memperlakukan tumbuhan dan tempat-tempat tadi dengan tidak beradat. Untuk mengobatinya melalui Baliatn atau pedukunan pun harus mengetahui nama-nama dan asal mula roh halus yang mendiami tempat dan tetumbuhan tadi. Untuk yang ketiga kalinya Ne' Pangingu berpesan kepada anaknya agar Baruakng pergi ke bumi melalui jalan yang lurus. Baruakng pun pergi. Sesampai dipersimpangan jalan Baruakng melihat bahwa jalan lurus itu penuh lalang dan semak berduri, sedangkan jalan yang menyimpang ke kiri lapang dan mulus. la berhenti sejenak. la tidak mau dikecewakan ketiga kalinya. Walaupun jalan yang lurus itu penuh tantangan, ia memutuskan untuk meniti jalan itu. Tidak seberapa jauh, rupanya jalan yang penuh semak berduri tadi tidaklah begitu jauh. Di ujung sana semakin lama semakin lapang dan bagus. Akhirnya ia sampai ke sebuah kampung dan bertemu dengan seorang dara cantik bernama Jamani Tabikng Tingi sesuai dengan pesan ibunya. Gadis cantik ini kemudian menjadi isterinya. Dari perkawinannya dengan. Jamani, lahirlah anak-anak manusia yang bernama: Jamawar yang bergelar Patih Mawar Ampor Gayokng, Ne' Umu' Arakng dan Ne' Sone, Ketika memasuki masa kanak-kanak pada suatu hari Jamawar mandi sambil bermain dí tepian, Di hulu tepian sana terlihat buah sibo (rambutan hutan) yang sudah masak memerah. la segera pulang ke rumah mengambil parang. Ketika ia akan turun, ibunya mcnawarkan kerak nasi untuk dimakan. Tetapi Jamawar terus terjun tanpa menyentuh kerak nasi. Lalu pergi menuju hulu tepiannya dan memanjat batang sibo yang berubah. Sementara ia terjun dan belari tadi terdengarlah bunyi riuh suara burung bersahut-sahutan, Jamawar dan Jamani tidak tahu akan arti scmua tanda-tanda alam dan suara burung-burung itu. Ketika Jamawar memotong dahan sibo yang banyak buahnya, tiba-tiba dahan yang diinjaknya (sempak) terlepas dari batangnya dan Jamawar pun jatuh kejurang dalam dan menimpa batu wadas di aliran sungai. Badannya hancur luluh terhempas pada batu. Pada saat itu terdengar lagi riuh ributnya suara tadi. Orang-orang sekampung keheranan mendengar bunyi burung dan kayu yang patah. Mereka pun berhamburan ke luar menuju hulu tepian dan menyaksikan kejadian yang sangat mengerikan. Karena menyaksikan kejadian yang sangat menyedihkan itu, Ne' Jamani dan Baruakng serta orang sekampung kebingungan, tentang bagaimana cara mengambil tubuh jenasah Jamawar. Pada saat itu terdengar suara dari burung-burung itu yang berbicara seperti manusia: "Kami ada ngampusi'nya" (biarlah kami yang pergi mendapatkannya. Lalu berterbanganlah burung-burung itu ke dalam jurang sana untuk memungut sisa-sisa peralatan tubuh Jamawar yang masih tersangkut di batu, di akar dan sebagainya. Sisa-sisa peralatan tubuh Jamawar tadi di kumpulkan mereka dan ditampung ke dalam gayung tempurung kelapa. Setelah dikumpulkan mereka berikhtiar untuk menguburkan jasad Jamawar. Tetapi menurut orang pandai di kampung itu, jika perlengkapan anatomi tubuhnya masih lengkap, walaupun hanya sedikit-sedikit, pasti bisa dihidupkan kembali dengan cara "Baliatn". Lalu mulailah burung-burung tadi memilah-milah jenis peralatan tubuh yang masih dapat dikumpulkan. Setelah selesai, ternyata jenis peralatan hati tidak terkumpulkan. Sekali lagi mereka kebingungan. Pada saat itu "Burung Kutuk atau Pantek bersedia menyumbangkan hatinya. Maka hingga sekarang “Burung Kutuk badannya merah kena darah dan tidak punya hati", Setelah itu burung-burung pun pulang ke rumah mereka. Sesampai di rumah mereka bercerita pada ibu mereka, Ne' Siputih Panara Subayatn. Dari cerita anak-anaknya Ne' Siputih mengetahui bahwa Baruakng, suaminya kawin lagi dengan Jamani anak talino. Sementara itu Ne' Bantakng bahaupm mengumpulkan pasagi waris (mengadakan rapat mengumpulknn ahli waris) berikhtiar untuk mengobati Jamawar dengan cara "baliatti", Dari pengalaman orang sekampung, kebetulan terpilihlah Ne' Siputih Panara Subayatn sebagai Pamaliatnnya. Walaupun dengan berat hati Ne' Siputih tetap pergi baliatn, mengobati Jamawar. Pada saat baliatn Ne' Siputih sangat bersungguh-sungguh ia melupakan peristiwa masa lalu yang menyakitkan hatinya. Pokoknya ia harus mengobati Jamawar untuk "ngarapat ampor" (merekatkan yang hancur). Selesai Baliatn, ditinggalkannya sebutir beras untuk obatnya, dengan pesan agar mencari lagi Pamaliatn lain yang bertugas "ngalulu balah' (melekatkan yang masih renggang). Untuk itu dipanggillah Ne' Petor Batu Buntar Muha Pamaliatn Buta. Selesai baliatn Ne' Petor Batu Buntar Muha meninggalkan sebutir beras untuk obat. Demikian selanjutnya pengobatan berjalan terus dengan memanggil Pamaliatn Bawakng untuk nagalamputn sengat (menyambung napas), Pamaliatn Sinede madiri bangke (membangkitkan mayat), batama' ayu (memasukkan roh), batama' sumangat (memasukkan semangat atau jiwa) dan seterusnya hingga tujuh pamaliatn yang dipanggil. Selesai Baliatn semuanya meninggalkan masing-masing sebutir beras, dan Jamawar pun mulai hidup, tetapi masih tidak mampu berbuat apa-apa, masih sakit. Melihat keadaan anaknya demikian, Ne' Baruakng dan Ne' Jamani masih sedih. la hampir kehabisan akal. la selalu berusaha mencari informasi untuk mencari obat demi kesembuhan anaknya Jamawar. Dipanggillah Ne' Unte' Tanyukng Bunga. Mereka menceritakan bahwa sudah tujuh kali baliatn, tetapi Jamawar masih tampak sakit. Mereka meminta pendapat pada Ne' Unte'Tanyukng Bunga. Lalu Ne' Unte' bertanya: "Au' Ahe-ahe sampore' nang di pamaliatn ka' koa masari'?" (Ya... obat apa saja yang ditinggalkan oleh Pamaliatn itu.) Ne' Jamani menjawab:"Au' nian ihan, baras tujuh bege"' (Ya... hanya íni, beras tujuh butir.") Ne' Unte' menjelaskan, bahwa itulah obatnya yang dinamakan "Baras Banyu tujuh bege'". Diambilnya ketujuh butir beras tadi dan berdoa: Koa iatn baras banyu baras basok baras suci baras aning, jaji tantama sampore'. Isi' bangi dipaturi, tulakng ampor dipalamputn. Darah mangkalo dipacalah, urat malungkong dipasanikng, kulit ngarintoyokng dipaalus, nang luka dipaalit. Asa’ dua talu ampat lima anam tujuh, koa iatn aku mura’atnnya ka’ bulatn mata ari nang tabungke taburas, narabiiatn untukng tuah rajaki, murasatn tatama sampre koa ian baras banyu jaji sarakng, baguit, pulakng ringakng pulakng nyamn tubuhnya nu’da’ Jamawar, pama Jubata.” ("inilah beras tujuh butir beras bersih beras suci, jadi obat. Daging busuk dihidupkan, tulang hancur disambungkan, Darah hitam beku dipermerah, otot melengkung diterikkan, kulit keriput diperhalus, yang luka disembuhkan seperti semula. Satu dua tiga empat lima enam tujuh, ini aku memberitahukannya pada bulan dan matahari yang keluar dan memancarkan cahaya, bagaikan memancarkan untung tuah dan rejeki, menghembuskan obat penyembuh. Inilah Baras Banyu yang menjadi pokok kehidupan dan tali napas, yang jadi penyegar penyembuh napas, bergetar dan bergeraklah bangun, mengembalikan kesehatan dan tubuh yang segar nyaman milik Jamawar, oh Roh Tuhan" Begitu doa Ne' Unte' Tanyukng Bunga selesai, Jamawarpun kembali sehat kuat seperti semula. Sejak saat itulah namanya berupah menjadi "Patih Mawar Ampor Gayokng.” Mendengar dengar Jamawar sudah sembuh dari penyakitnya, maka Ne' Siputih Panara Subayatn dan Ne'Petor Batu Buntar Muha pun menyuruh pengacara (pangaraga) untuk menuntut “parangkat” (kawin lari padahal sudah beristeri/ bersuami) pada Baruakng, karena ia kawin lari meninggalkan isteri-isterinya. Yang menjadi "Pangaraga" adalah "Bari-Bari' (Binatang merah kecil-kecil yang suka mengerumuni kulit buah). Kedua isteri lamanya masing masing: Ne' Siputih menuntut " buat" satajur, jalu satajur. (Hukuman barang sebuah bukit, babipun sebuah bukit). Sedangkan Ne' Petor Batu menuntut hukuman Adat parangkat sa arokng, jalu sa arokng. (Barang adat dan babi banyak seisi jurang). Karena Ne' Jamani orang sakti dan orang berada, semua tuntutan tadi dipenuhinya, sehingga pengaçara Bari-Bari kebingungan bagaimana membawa barang-barang yang begitu banyaknya. Mau tak mau Ne' Unte’ Tanyukng Bunga dipanggil lagi, Kata Ne' Unte'; "Au' ahe ba payahnya….. segala tapayatn da’ ahe koa dikikis pamuat puru, Koa jalu ka’ koa tatak eko’nya, dilepet. Salepet unto' Si Putih, salepet unto’ Petor Batu, Baras banyu kajah salepet uga' Saga dah atakng ka' naung disampangan, A... koa ian adat aturan, nang kurang dipacukup, kade’ ada nang salah dipabato. Asa' dua' talu" ampat lima anam tujuh payah, sambel ngamuratn baras banyo mang puru nian " (O…. tidak payah, segala tempayan dan petalatan lainnya itu dikikis seperti membuat serbuk/ bubuk. Segala babi itu ekornya dipotong sedikit, kemudian dibungkus kecil. Satu bungkus untuk Si Putih, Satu bungkus untuk Petor Batu. Beras Banyu masing-masing sebungkus. Kalau tiba di sana, bacakanlah doa ini: “A….inilah adat dan aturan, kalau kurang dicukupkan, kalau salah dibetulkan. Satu dua tiga empat lima enam tujuh, sambil menghamburkan baras banyu dan serbuk ini.)" Begitulah pesan Ne' Unte'. Demikianlah Bari-bari melakukan petunjuk yang diberikan oleh Ne' Unte', dan memang benar tejadi, ketika beras banyu dan puru tadi dihamburkan setelah berdoa, tiba-tiba bukit itu penuh dengan babi, tempayan dan segala perlengkapan adat lainnya. Demikian juga pembayaran adat untuk Petor Batu Buntar Muha, penuh jurang oleh tempayan, babi dan peralatan adat lainnya. Tetapi setelah dihitung oleh Ne' Angokng dari Tanah Rantimakng, ternyata masih ada yang kurang, namanya 'Buat Tangah", buat sabuah pamadapm darah (Adat pencegah darah). Karena takut terkena akibat dari kurangnya adat, maka Bari-Bari kembali Iagi menagih Ne' Jamani. Adat Buat Tangah pun dipenuhi. Tengah mereka menyediakan adat ini tiba-tiba datanglah Ne' Siputih dan Ne' Petor Batu, masing-masing bersama dengan semua anak-anaknya. Setelah siap semuanya, Ne' Jamani pun berkata: "Ini adat sudah kami sediakan, silahkan dibawa." Lalu Ne' Siputih dan Ne' Petor Batu menjelaskan: "A nian boh Baruaknga, buat nian tatap bahoatn ka' kaikng. Ina' kami incaknga' Kut kade' kami incakng, jaji putuslah patalian waris diri'. Biar ampahepun kamunda' diri' nian nta adi' baradi' me boh. Kade' tah ahe antah dah nae ari, kade' kita' talino mao' minta' tulukng minta' banto', au’ pane kami manto', Saruja'kami." ("Oh Baruakng, Adat ini tetap tinggal mengasuh di sini, tidak kami bawa. Sebab kalau kami bawa, putuslah pertalian ahli waris kita. Biarpun bagaimana anak-anak kita ini sungguh-sungguh adik beradik. Kalau dikemudian hari terjadi sesuatu pada manusia, jika minta tolong minta bantu, kami bisa membantu. Panggil saja kami"). Hingga saat ini masyarakat Dayak Bukit Talaga bahwa antara roh-roh halus dan binatang-binatanng tertentu tetap menghotmati sebagai saudara mereka, sehingg mereka harus saling menolong dan saling mcmbantu. Parang Miaju' Padokoatn Malanggar Jawa karena takut kualat menyebut nama-nama orang tua dan kakek nenek sakti, maka sebelum menuturkan cerita membacakan doa "Moreatn Baras Banyu": “Koa iatn Pama Kita Rumah Tanga'a, Pama Urakng Tuha. Koa iatn aku bai' di jukat diede', bai' di etokng dikarunia, dituntut dida'awa. Taga iatn aku nyaritaatnna' katurunan maka, make adat pusaka katurunan mpat di da' Ne'ku sampe ka da' Pa'ku, jaji turutn ka' kami. Nian kamunda' kami nangara' curita tantang Miaju' Padokoatn Malanggar Jawa.” (Inilah oh Roh yang tinggal di Rumah, Roh Nenek moyang. Saya ini tidak mau ditegur, tidak mau disebut-sebut, tidak mau dituntut dan didakwa. Pasalnya aku akan bercerita tentang keturunan, makanya aku memakai adat pusaka keturunan yang berasal dari nenek moyang hingga turun kepada ayah dan ibuku lalu turun ke kami. Disini anak-anak keturunan kami mau mendengar cerita tentang Perang Miaju' Padokoatn Malanggar Jawa. ") Setelah membacakan doa "Nyangahatn"-nya barulah ia bercerita. Dalam cerita ini dikisahkan tentang asal mula Penduduk Kalimantan. Tersebut kisah bahwa Patih Gajah Mada (Majapahit Jawa) bersaudara dengan Patih Belepm (Kapuas), Patih Gumantar (Mempawah), Patih Jamani (Belum diketahui). Patih Jaraya’, ini yang diketahui tinggal di daerah Bukit Talaga Pahauman Kabupaten Pontianak hingga sekarang. Ribuan pohon durian tanaman Ne' Jaraya' masih menjadi saksi hidup, yang masih tumbuh dengan pohonnya yang besar•besar, seisi Gunung Talaga. Ne'Jaraya' mempunyai dua orang panglima yang bernama Ne' Binalu dan Ne' Binawa' yang pandai terbang. Mereka tinggal berpindah-pindah menghindari serangan dari Miaju 'Padokoatn' . Rute daerah yang pernah menjadi tempat tinggal mereka adalah Padang Tikar, Sikudana, Sikulantikng, Bawang Laut dan Puntianak. Kemudian mudik ke lbul Samih Pulo Burukng dan akhirnya ke Gunung Talaga. Jumlah rombongan Ne’Jaraya' pada waktu itu ada 100 kepala Keluarga. Mereka berperang melawan Miaju’Padokoatn Ketika sampai di Gunung Talaga, mereka tinggal menumpang di perkampungan kamang. Panglima Perang Talaga yang terkenal waktu itu bernama Ne’ Lagi yang tinggal di Lajik, Sckarang Lajik menjadi " Panyugu" salah satu tempat keramat yang ada di gunakan mengadakan suguhan/sesaji di Gunug Talaga. Ne' Jataya mempunya empat orang anak masing-masing Ne' Sugutn yang juga bergelar Patih, Ne' Nginatn. NeJarijarita’ Ne Baubaulah anaknya yang ketiga dan keempat akhirnya pergi masing-masing Nanang Pulo Lawe dan Nanang Piulo Kabukng. Ketika mereka tinggal di perkampungan Kamang, mereka harus berpantang: Tidak boleh ngamalo (melekatkan hulu parang dengan getah tumbuhan) Tidak boleh nunu tungkung (membakar bunga tepus). Tidak boleh nyaranang (memerahi anyaman dengan getah jaranang), Tidak boleh nyuman ansepakng (memasak daun sejenis cangkok manis) Tidak boleh nyeok (bersiul), Kalau pantang ini dilanggar, maka penghuni kamang akan kesakitan dan bisa mati. Tidak boleh makan paku' lamidikng (pakis lemiding). Warga pengikut Ne' Jaraya' bersedia untuk berpantang. Setelah lama tinggal di Talaga, mereka telah terbiasa berladang. Kebetulan tengah mereka menebang kayu, lepaslah parang Ne' Sugutn dari hulunya. Mungkin lupa, Ne' Sugutn langsung membakar getah amalo untuk melekatkan parang pada hulunya. Seketika itu juga matilah anak Ne' Lagi. Ne' Lagi datang dan membunuh anak Ne' Sugutn. Selanjutnya Ne' Sugutn mengamuk hingga ia menghabisi anak cucu keturunan Ne' Lagi si Raja Kamang (sejenis Orang Kesucian, Orang Kebenaran). Menyadari bahaya yang kian mengancam, maka mata manusia ini dibungkus dengan duri Kaimayong (sejenis salak). Itulah sebabnya hingga sekarang manusia kebanyakan tidak dapat melihat hantu dan orang kebenaran (roh halus). Dalam silsilah keturunan Talaga yang dikisahkan oleh Sa'i Pak Arum disebutkan, bahwa manusia yang bernama Ne' Ngaroakng memperistri Ne' Namu. Dari perkawinannya lahirlah anak-anak yang bernama Ne' Naya dan Ne' Kancat. Ne' Naya adalah seekor Ular Tadukng dan Ne' Kancat adalah seorang tokoh Sakti yang bisa memikul batu sebesar rumah untuk tungku. Hingga sekarang Tongko' Ne' Kancat ada di Gunung Talaga. Sedangkan Ne' Kancat akhirnya pergi ke wilayah Banjar Kalimantan Selatan, karena tersesat berkelahi dengan hantu. Setelah ular Tedung ini besar ia dapat berburu babi, rusa dan binatang besar Iainnya, Tetapi karena badannya sudah semakin ia merninta agar ia di antar ke dalam gua. Sebelum it dilepaskan ia berpesan agar anak cucunya tidak boleh saling menyakiti. Sekarang diyakini bahwa Ne' Maya Yang sudah berupa ular tcdung yang kcratnat tctap tinggal di gunung Talaga. Dan orang-orang kampung di sekitar gunung itu tahu benar bahwa di gunung Talaga tidak boleh membunuh ular. Kalau ada Yang membunuh ular, maka ia akan dikejar-kcjar Olch ular dalam ukuran kecil hingga yang sangat besat dan memagutnya. Hingga saat ini juga manusia Dayak Talaga yang berjalan di tengah hutan dan bahkan diperkampungan, mereka tidak akan sembarangan berbuat sesuatu yang melanggar pantangan. Karena perbuatan itu akan membuat mereka sakit 'Jukat' (ditegur Olch roh) dan dapat mematikan kalau tidak segera minta ampun dengan membacakan doa nyangahatn dan peralatan adat yang tepat. Kesimpulan Dari contoh cerita tadi dapat disimpulkan bahwa masyarakat Dayak umumnya dan Dayak Bukit Talaga khususnya sangat mempercayai bahwa diri mereka dan alam sekitar mereka mempunyai hubungan yang bukan hanya sekedar menjaga lingkungan hidup mereka, melainkan mereka memandang bahwa ada hubungan tali persaudaraan yang mengikat mereka. Untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu dalam ritual kehidupan adat, pertanian dan sebagainya. Mereka mempunyai aturan dan tata cara yang harus ditaati Oleh semua mahluk. Mereka minta izin dulu kepada penguasa tanah, pepohonan dan binatang yang mereka yakini mempunyai hubungan kehidupan dengan mereka. Jika tidak ditaati, maka nyawa dan kehidupan mereka akan terganggu. Untuk itu mereka sangatlah beradat dan beradap memperlakukan segala tanah dan mahkluk hidup yang ada di sekitar mereka. Yang menjadi masalah dan menimbulkan pertentangan adalah: masyarakat Dayak sering dituding sebagai perusak hutan dan perusak lingkungan, Oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dan tidak mau tahu dengan keberadaan kehidupan masyarakat, Mereka dilarang menjadi peladang tetapi tidak ditunjukkan bagaimana pertanian menetap yang sebaiknya. Yang paling lucu adalah masalah di area daerah nusantara yang beraneka ragam ini megusahakan pengobatan terhadap penderita sakit perut didaerah X diberi obat Yang sama untuk penderita sakit lumpuh akibat tekanan darah tinggi di daerah. Ini bisa terlihat dengan penerapan cara, peraturan dan sebagainya Yang terkadang menganggap keadaan tanah dan adat istiadat daerah yang satu sama persis dcngan daerah Yang lain. Jelasnya sering terjadi bahwa peraturan di Jawa sana dianggap sudah paling cocok diterapkan di semua daerah di Nusantara tercinta ini, tanpa lagi memandang situasi dan kondisi yang ada di daerah itu, sehingga yang terjadi bukannya tujuan kesejahteraan melainkan kesengsaraan yang didapatkan. Kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah, seperti seorang anak kecil yang selama pendidikannya selalu dikatakan bodoh, kotor, biadab sebagai perusak dan sebagainya oleh orang tuanya, maka ia dapat terbentuk oleh sikap orangtuanya yang tidak mengenal belas kasihan. Siapa yang salah? Harapan Dari penggalian makna dan arti sastra lisan ini diharapkan dapat memberikan bahan masukkan bagi para penentu kebijakan, agar pembangunan yang bertujuan mensejahterakan masyarakat yang adil dan makmur ini dapat terwujud. Stepanus Djuweng dari Institute of Dayakology Research and Development, dalam seminar tradisi lisan Jakarta mengatakan: “Tradisi Lisan sesungguhnya merupakan Pintu pertama untuk membuka rahasia kehidupan orang Dayak. Oleh karenanya, pemahaman yang mendalam terhadap tradisi lisan berarti akan menuntun pihak-pihak yang berkompeten untuk mengambil keputusan yang tepat dan kontekstual. Pemahaman yang proporsional juga akan menghindari pelecehan dan bahkan pemusnahan terhadap nilai-nilai kehidupan suatu suku bangsa.” Karena nilai-nilai tradisi lisan berisikan pendidikan moral, filsaŕat, sejarah dan etika, sehingga manusia Dayak mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, maka diharapkan pemusnahan ciri-ciri dan keberadaan suatu Suku di lingkungannya dapat diminimalkan. Untuk itu sastra tisan perlu digali dan dipelihara.
Tambahkan Komentar
Komentar : 0